Aku berjumpa dengannya dalam
sebuah jamuan makan malam. Jamuan makan malam yang tak pernah direncanakan dan
tak pernah ingin didatangi. Maka saat itu adalah kali pertama aku bersantap
bersamanya. Di ruangan seukuran tiga kali toilet pasar. Sangat sempit dan
lusuh. Kami terpaksa saling bersila kaki agar tak saling menyikut atau
menendang. Di sampingku seorang wanita tersulut emosi karena teman wanita di
sampingnya menyenggol santap malamnya hingga terburai.
Hampir semua rusuh dan berisik
saat itu. Macam-macam orang berkisah tentang tidur yang tak pernah nyenyak,
aroma toilet yang memabukkan karena saking pesingnya, hingga menggosipkan
lelaki-lekaki yang kabarnya saban hari datang menjenguk untuk memberikan
layanan istimewa. Entahlah, aku tak mau repot mengomentari atau turut serta
dalam percakapan yang sungguh tak bermutu itu. Yang membuatku penasaran adalah
dia yang ada di hadapanku. Seseorang yang membisu di tengah kebisingan yang
mendengung telinga.
“Hai!”
Hanya kata itu yang
terucap. Itu pun pelan dan sedikit ragu. Di tempat seperti ini keraguan dan
kewaspadaan harus diutamakan. Kemudian ia pun menoleh sedikit padaku.
“Engkau tak suka
makanan itu?”
“Oh nasi kotak ini?”
Aku sedikit kaget. “Aku malah belum membukanya.”
“Kalau tak suka,
berikan untukku, akan kusimpan untuk besok.”
Ia pun kembali terdiam.
Sungguh membuat penasaran.
“Bisakah kita
berkenalan? Saya Arum.”
“Wati, panggil saja
begitu.”
Wanita yang dipanggil
Wati itu pun kembali menekuri makanannya. Air mukanya terlihat datar. Seperti
telah dikuras habis senyum dan riang mukanya. Sungguh sangat jauh berbeda
dengan para wanita lain di ruangan ini. Hampir semua lincah berkelakar dan
tertawa-tawa. Bahkan ada yang makan sembari mencari kutu rambut. Benar-benar menjijikan!
“Mulai malam ini engkau
harus terbiasa dengan suasana ruangan ini. Bolehlah engkau stres asal jangan
gila saja.” Wanita bernama Wati itu bercakap lagi denganku. Suaranya sedikit
berat dan terasa keras, barangkali karena sudah mengalami banyak hal buruk di
luar sana sebelum akhirnya kami bertemu di tempat ini. “Cepatlah engkau makan
nasi kotak itu sebelum yang lain merampasnya, di sini semua orang kelaparan!”
Suara Wati yang
meninggi membuatku lekas-lekas membuka nasi kotak di hadapanku. Di dalam nasi
kotak berukuran sedang itu terdapat segenggam kecil nasi putih yang sudah
kusam. Kucicipi sedikit. Oh, rasanya sungguh tak lezat! Wati bercerita bahwa
ini adalah nasi yang jauh lebih manusiawi ketimbang nasi-nasi sebelumnya. Tak sedikit
para wanita di sini yang sebelumnya muntah-muntah akibat nasi busuk yang sudah
keabu-abuan karena berjamur.
“Engkau jangan banyak
protes meski di balik sayuranmu ada mayat ulat yang mengambang atau karena ikan
atau daging yang masih mentah dan amis.” Begitulah petuah-petuah Wati padaku
malam itu. Singkat, padat, sekaligus membuat diriku kian penasaran. Sebenarnya
siapakah Wati? Dari mana ia? Mengapa ia akhirnya bisa tidur bertahun-tahun di
sini? Begitu banyak pertanyaan yang mendesakku untuk mencari jawabannya. Satu
hal yang kutahu dari Wati adalah dirinya yang berbeda. Ya, ia berbeda dari yang
lain. Itu saja.
Pernah suatu masa saat
tengah membersihkan selokan dekat aula aku bertanya pada Wati seputar
asal-usulnya. Dan lagi-lagi ia menjawab tak seberapa banyak. “Aku dari
Jakarta.” Hanya itu saja. Berbicara soal Wati sebenarnya ia adalah sosok yang
begitu penyayang pada kami, maksudku pada para wanita yang tinggal seruangan
dengannya. Wati yang dikenal sebagai kepala kamar yang kurasakan tak pernah
bengis atau berlaku tidak adil pada kami. Misalnya ketika ada salah seorang
diantara kami yang dibesuk keluarga dan diberi makanan, maka Wati akan
membagikan makanan itu dengan rata. Bahkan pernah sepotong bakwan terpaksa
mesti dipotong jadi lima belas bagian untuk kami. Kami makan saja secuil kuku
bakwan itu dengan nikmat. Maklum, di sini memang susah sekali makan enak.
Sekalinya ada yang enak harganya kelewat mahal dan mesti dibeli di kantin.
Permasalahannya satu, mana punya uang kami di sini?
Kembali membincangkan
Wati aku jadi teringat saat selapas magrib. Wati banjir air mata hingga mukanya
yang kusut tambah kusut. Aku simak saja pemandangan langka itu dari balik
jendela. Tak berani aku melangkah masuk ke dalam masjid. Rasanya kaki ini
terlalu kotor. Terlalu berdosa. Ahh…
Obrolan serius dengan
Wati akhirnya terjadi pula pada suatu malam. Ketika kawan-kawan seruanganku
telah berjumpa dengan mimpi. Aku temui Wati yang saat itu sedang sujud merendah
di lantai kamar. Lantas ia berdoa dan tiba-tiba terhenyak ketika melihatku
masih terjaga di belakangnya.
“Banyak nyamuk?” Aku
menggeleng. “Lantai beralas tripleks ini dinginnya masih menusuk tulangku.”
Wati terkekeh kecil. Dan saat itulah aku menemui rona wajahnya berirama.
“Berapa usiamu?” Aku mendehem. “Empat puluh.” Wati melepas mukenanya, lantas
menggulungnya dengan sajadah yang telah memudar warnanya. “Seringkali usia tak
selaras dengan kedewasaan,” ujarnya. Saat itu aku menyimaknya dengan
kesungguhan. Seakan-akan aku tengah berguru dengan seorang ahli filsafat.
“Aku di sini karena
sebuah sebab yang kurasa begitu memalukan.” Wati beringsut duduk di depanku. Ia
bersila sembari membetulkan ikat rambutnya yang terlepas. “Dahulu aku memiliki
segalanya, uang, rumah yang mewah, mobil mahal, anak-anak yang rupawan dan
suami yang berpangkat, bahkan seringkali kami vakansi ke luar negeri, semua
mudah bagiku, ya, mudah sekali.”
Akhirnya pada malam itu
setelah lima bulan aku mendekam, semua yang tak kuketahui mengenai Wati
terbongkar sudah. Bahkan Wati sendiri yang berkisah sembari berapi-api dan
penuh emosi. Ia berkisah mengenai dirinya yang seorang teknisi senior di sebuah
perusahaan perminyakan. “Jarang sekali aku pulang ke Indonesia, sekalinya
pulang mungkin tiga bulan sekali atau saat hari-hari besar.” Begitulah jawaban
Wati. Ketika kisahnya berbelok kepada dua buah hatinya, ia mendadak merintih.
Seperti ada luka lama yang terpercik pasir, perih.
“Engkau tahu bagaimana
rasanya hati seorang ibu yang melihat putrinya bunting di luar nikah?” Ah,
pertanyaan Wati saat itu serta-merta mengingatkanku pada Yuda, putraku yang
saat ini begitu aku rindukan. “Yang satu dibuat bunting dan satunya membuat
bunting,” sambung Wati.
Malam itu pun Wati
bercerita banyak hal. Seperti memuntahkan makanan yang mengganjal di lambung.
Ia bertutur mengenai dirinya yang gagal menjadi seorang ibu. Bahkan gagal pula
menjadi istri seorang lelaki. “Rum, dia hampir setiap hari membawa wanita
cantik ke rumah, aku tak gila bagaimana?” Aku menelan ludah. Sebegitukah lelaki
yang ditinggal istri mencari duit ke luar negeri? Lagi-lagi aku jadi ingat
dengan kehidupanku yang… ah sudahlah…
“Kau tahu dari mana
suamimu bawa wanita?”
“Dari semua tetanggaku,
bahkan menjadi rahasia umum!”
Aku ingat betul saat
itu Wati mencak-mencak gegara menceritakan suaminya yang katanya bejat dan
tidak bermoral. Ia mengibaratkan suaminya sebagai serigala berbulu domba.
Ibarat virus HIV. Yang pelan-pelan mematikan dan membunuh.
“Lantas apa yang kau
lakukan?”
“Kami bertengkar hebat,
saking hebatnya rumah jadi berantakan, dan saat ia tertidur di sofa, kukebiri
kepunyaannya!”
“Apa??”
“Iya! Dengan pisau
daging!”
Aku bergidik. Tak
menyangka seorang Wati yang tampak tenang bisa melakukan kegilaan. Bukan
kegilaan lagi, tapi sangat kejam!
“Kau tahu bagaimana
kabar suamimu?”
“Tidak. Aku tak tahu ia
masih hidup atau tidak. Malam itu juga aku sudah digiring ke kantor polisi.”
Selepas mendengar
curahan hati seorang Wati, malam itu aku menjadi tidak bisa tidur. Kedua mata
ini rasa-rasanya sulit untuk menutup. Kata-kata Wati terus saja menguar.
Membuat aroma baru. Sebentar-sebentar membuatku merinding. Namun kemudian
menjadi rasa sesal. Betapa aku dengannya memiliki masalah yang sama. Masalah
yang seringkali disepelekan oleh para ibu di dunia. Betapa kami rupanya sudah
tak berhasil mendidik keluarga. Kami terlalu bergelora mencari rupiah namun
lupa akan status kami di rumah. Kami kelewat menjunjung karir sampai anak-anak
terlantar dan suami tak terjamah. Menyedihkan!
Malam itu pun aku teringat putraku Yuda. Yuda
keturunanku satu-satunya. Ia sama seperti kawan-kawannya, seorang remaja yang
kekinian. Setiap hari berjumpa dengannya ia selalu tampak sama, tak ada yang
berbeda. Ia sopan dan taat di rumah. Namun di hari yang lain, ia patahkan
hatiku berkeping-keping.
“…
anak ibu tertangkap basah melakukan pesta narkoba di vila…”
Suara lewat telepon itu terasa masih hangat di telinga. Oh anakku… Dalam
perjalanan menuju kantor polisi dengan kondisi jiwa yang tak menentu, tiga
orang manusia tertabrak mobil sedan yang kukendarai. Kejadian kala itu membuat
seluruh tubuhku rubuh. Ibarat lolos segala macam otot dalam tubuh. Lekas aku
digiring ke tahanan setelah beberapa bogem mentah mendarat di wajah dan perut.
Mendekamlah aku hingga persidangan usai, lalu digiringlah aku kemari. Ke sebuah
Lapas.
“Mengapa semua ini
terjadi?” Pertanyaan itu selalu aku lempar pada Wati. Dalam kesempatan apapun.
Baik saat sarapan, mengepel, mencuci baju, atau menyabit ilalang liar. Tapi
Wati hanya menjawab, “Barangkali kita belum dewasa.” Dewasa? Wati sering
menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang kerap sama. Dewasa.
“Dewasa bagaimana lagi?
Bukankah kita sudah dewasa? Bahkan sudah mulai renta pula!” Suatu hari aku
tangkis jawabannya. Kemudian Wati yang kala itu tengah membersihkan toilet Lapas
mengelap peluhnya sebentar lalu memandangku. “Ya, kita memang sudah dewasa
secara fisik. Tapi ini dan ini masih bocah.” Wati menunjuk kepala dan dadanya
seketika. Lalu kembali menggosok toilet. Dan entah mengapa percakapan dengan
Wati itu berbekas hingga kini. Meskipun Wati tak ada lagi.
Setelah satu tahun aku
tinggal di Lapas, Wati pun tutup usia. Ia sakit. Kena radang paru-paru.
Jenazahnya ditanam di pekuburan umum di belakang Lapas. Saat sakit-sakitan Wati
memang selalu berbicara ingin tinggal di Lapas saja. Alasannya sederhana, ia
tak pernah sekalipun dijenguk sanak saudara. Lebih-lebih ia merasa seperti
sebatang kara. Pun karena di sini ia bisa belajar banyak hal. Terlebih soal
agamanya yang masih buta. “Engkau ikutilah pengajian-pengajian di masjid,
supaya hatimu damai.” Seperti itulah pesan Wati saat menjalani pengobatan ala
kadarnya di balik jeruji besi.
Sebelum Wati wafat ia
juga kerap menanyaiku pertanyaan yang membuatku pening kepala. Membuatku selalu
gugup tidak keruan harus menjawab apa.
“Selepas keluar dari
sini engkau hendak berumah tangga lagi?”
“Hm, entahlah, aku
takut kembali bercerai.”
“Tak usah gusar, galilah
agama yang kuat di sini, kemudian carilah lelaki yang baik agamanya serta bisa
membimbingmu, perhatikan pula anakmu.”
Begitulah kiranya
amanat Wati sebelum napasnya tersengal-sengal lalu putus selamanya. Boleh jadi
itulah wasiat kematian darinya untukku. Membuat ucapnya terasa sakral dan patut
kulakukan. Memang lisannya acap kali membuatku bermenung-menung. Mungkin setua
ini aku belum paham cara membangun keluarga, tapi bukankah akan selalu ada ruas
untuk peroleh ilmu dan memperbaiki diri? Ah Wati, kata-kata engkau memang berkali-kali
betul. Terima kasih wahai Wati, dan selamat jalan…
***
Eika Vio adalah nama pena dari Eka Purwitasari. Seorang ibu rumah tangga dan pegiat
sastra di Forum Lingkar Pena (FLP) Sumedang. Cerpen Wati adalah pemenang kedua dalam Lomba Cipta Cerpen Kemuslimahan Unpad 2015.
Cerita yang berkesan
BalasHapus