Breaking News
Loading...
11/28/2015

Info Post



Aku berjumpa dengannya dalam sebuah jamuan makan malam. Jamuan makan malam yang tak pernah direncanakan dan tak pernah ingin didatangi. Maka saat itu adalah kali pertama aku bersantap bersamanya. Di ruangan seukuran tiga kali toilet pasar. Sangat sempit dan lusuh. Kami terpaksa saling bersila kaki agar tak saling menyikut atau menendang. Di sampingku seorang wanita tersulut emosi karena teman wanita di sampingnya menyenggol santap malamnya hingga terburai.

Hampir semua rusuh dan berisik saat itu. Macam-macam orang berkisah tentang tidur yang tak pernah nyenyak, aroma toilet yang memabukkan karena saking pesingnya, hingga menggosipkan lelaki-lekaki yang kabarnya saban hari datang menjenguk untuk memberikan layanan istimewa. Entahlah, aku tak mau repot mengomentari atau turut serta dalam percakapan yang sungguh tak bermutu itu. Yang membuatku penasaran adalah dia yang ada di hadapanku. Seseorang yang membisu di tengah kebisingan yang mendengung telinga.

“Hai!”

Hanya kata itu yang terucap. Itu pun pelan dan sedikit ragu. Di tempat seperti ini keraguan dan kewaspadaan harus diutamakan. Kemudian ia pun menoleh sedikit padaku.

“Engkau tak suka makanan itu?”

“Oh nasi kotak ini?” Aku sedikit kaget. “Aku malah belum membukanya.”

“Kalau tak suka, berikan untukku, akan kusimpan untuk besok.”

Ia pun kembali terdiam. Sungguh membuat penasaran.

“Bisakah kita berkenalan? Saya Arum.”

“Wati, panggil saja begitu.”

Wanita yang dipanggil Wati itu pun kembali menekuri makanannya. Air mukanya terlihat datar. Seperti telah dikuras habis senyum dan riang mukanya. Sungguh sangat jauh berbeda dengan para wanita lain di ruangan ini. Hampir semua lincah berkelakar dan tertawa-tawa. Bahkan ada yang makan sembari mencari kutu rambut. Benar-benar menjijikan!

“Mulai malam ini engkau harus terbiasa dengan suasana ruangan ini. Bolehlah engkau stres asal jangan gila saja.” Wanita bernama Wati itu bercakap lagi denganku. Suaranya sedikit berat dan terasa keras, barangkali karena sudah mengalami banyak hal buruk di luar sana sebelum akhirnya kami bertemu di tempat ini. “Cepatlah engkau makan nasi kotak itu sebelum yang lain merampasnya, di sini semua orang kelaparan!”

Suara Wati yang meninggi membuatku lekas-lekas membuka nasi kotak di hadapanku. Di dalam nasi kotak berukuran sedang itu terdapat segenggam kecil nasi putih yang sudah kusam. Kucicipi sedikit. Oh, rasanya sungguh tak lezat! Wati bercerita bahwa ini adalah nasi yang jauh lebih manusiawi ketimbang nasi-nasi sebelumnya. Tak sedikit para wanita di sini yang sebelumnya muntah-muntah akibat nasi busuk yang sudah keabu-abuan karena berjamur.

“Engkau jangan banyak protes meski di balik sayuranmu ada mayat ulat yang mengambang atau karena ikan atau daging yang masih mentah dan amis.” Begitulah petuah-petuah Wati padaku malam itu. Singkat, padat, sekaligus membuat diriku kian penasaran. Sebenarnya siapakah Wati? Dari mana ia? Mengapa ia akhirnya bisa tidur bertahun-tahun di sini? Begitu banyak pertanyaan yang mendesakku untuk mencari jawabannya. Satu hal yang kutahu dari Wati adalah dirinya yang berbeda. Ya, ia berbeda dari yang lain. Itu saja.

Pernah suatu masa saat tengah membersihkan selokan dekat aula aku bertanya pada Wati seputar asal-usulnya. Dan lagi-lagi ia menjawab tak seberapa banyak. “Aku dari Jakarta.” Hanya itu saja. Berbicara soal Wati sebenarnya ia adalah sosok yang begitu penyayang pada kami, maksudku pada para wanita yang tinggal seruangan dengannya. Wati yang dikenal sebagai kepala kamar yang kurasakan tak pernah bengis atau berlaku tidak adil pada kami. Misalnya ketika ada salah seorang diantara kami yang dibesuk keluarga dan diberi makanan, maka Wati akan membagikan makanan itu dengan rata. Bahkan pernah sepotong bakwan terpaksa mesti dipotong jadi lima belas bagian untuk kami. Kami makan saja secuil kuku bakwan itu dengan nikmat. Maklum, di sini memang susah sekali makan enak. Sekalinya ada yang enak harganya kelewat mahal dan mesti dibeli di kantin. Permasalahannya satu, mana punya uang kami di sini?

Kembali membincangkan Wati aku jadi teringat saat selapas magrib. Wati banjir air mata hingga mukanya yang kusut tambah kusut. Aku simak saja pemandangan langka itu dari balik jendela. Tak berani aku melangkah masuk ke dalam masjid. Rasanya kaki ini terlalu kotor. Terlalu berdosa. Ahh…
Obrolan serius dengan Wati akhirnya terjadi pula pada suatu malam. Ketika kawan-kawan seruanganku telah berjumpa dengan mimpi. Aku temui Wati yang saat itu sedang sujud merendah di lantai kamar. Lantas ia berdoa dan tiba-tiba terhenyak ketika melihatku masih terjaga di belakangnya.

“Banyak nyamuk?” Aku menggeleng. “Lantai beralas tripleks ini dinginnya masih menusuk tulangku.” 
Wati terkekeh kecil. Dan saat itulah aku menemui rona wajahnya berirama. “Berapa usiamu?” Aku mendehem. “Empat puluh.” Wati melepas mukenanya, lantas menggulungnya dengan sajadah yang telah memudar warnanya. “Seringkali usia tak selaras dengan kedewasaan,” ujarnya. Saat itu aku menyimaknya dengan kesungguhan. Seakan-akan aku tengah berguru dengan seorang ahli filsafat.

“Aku di sini karena sebuah sebab yang kurasa begitu memalukan.” Wati beringsut duduk di depanku. Ia bersila sembari membetulkan ikat rambutnya yang terlepas. “Dahulu aku memiliki segalanya, uang, rumah yang mewah, mobil mahal, anak-anak yang rupawan dan suami yang berpangkat, bahkan seringkali kami vakansi ke luar negeri, semua mudah bagiku, ya, mudah sekali.”

Akhirnya pada malam itu setelah lima bulan aku mendekam, semua yang tak kuketahui mengenai Wati terbongkar sudah. Bahkan Wati sendiri yang berkisah sembari berapi-api dan penuh emosi. Ia berkisah mengenai dirinya yang seorang teknisi senior di sebuah perusahaan perminyakan. “Jarang sekali aku pulang ke Indonesia, sekalinya pulang mungkin tiga bulan sekali atau saat hari-hari besar.” Begitulah jawaban Wati. Ketika kisahnya berbelok kepada dua buah hatinya, ia mendadak merintih. Seperti ada luka lama yang terpercik pasir, perih.

“Engkau tahu bagaimana rasanya hati seorang ibu yang melihat putrinya bunting di luar nikah?” Ah, pertanyaan Wati saat itu serta-merta mengingatkanku pada Yuda, putraku yang saat ini begitu aku rindukan. “Yang satu dibuat bunting dan satunya membuat bunting,” sambung Wati.

Malam itu pun Wati bercerita banyak hal. Seperti memuntahkan makanan yang mengganjal di lambung. Ia bertutur mengenai dirinya yang gagal menjadi seorang ibu. Bahkan gagal pula menjadi istri seorang lelaki. “Rum, dia hampir setiap hari membawa wanita cantik ke rumah, aku tak gila bagaimana?” Aku menelan ludah. Sebegitukah lelaki yang ditinggal istri mencari duit ke luar negeri? Lagi-lagi aku jadi ingat dengan kehidupanku yang… ah sudahlah…

“Kau tahu dari mana suamimu bawa wanita?”

“Dari semua tetanggaku, bahkan menjadi rahasia umum!”

Aku ingat betul saat itu Wati mencak-mencak gegara menceritakan suaminya yang katanya bejat dan tidak bermoral. Ia mengibaratkan suaminya sebagai serigala berbulu domba. Ibarat virus HIV. Yang pelan-pelan mematikan dan membunuh.

“Lantas apa yang kau lakukan?”

“Kami bertengkar hebat, saking hebatnya rumah jadi berantakan, dan saat ia tertidur di sofa, kukebiri kepunyaannya!”

“Apa??”

“Iya! Dengan pisau daging!”

Aku bergidik. Tak menyangka seorang Wati yang tampak tenang bisa melakukan kegilaan. Bukan kegilaan lagi, tapi sangat kejam!

“Kau tahu bagaimana kabar suamimu?”

“Tidak. Aku tak tahu ia masih hidup atau tidak. Malam itu juga aku sudah digiring ke kantor polisi.”

Selepas mendengar curahan hati seorang Wati, malam itu aku menjadi tidak bisa tidur. Kedua mata ini rasa-rasanya sulit untuk menutup. Kata-kata Wati terus saja menguar. Membuat aroma baru. Sebentar-sebentar membuatku merinding. Namun kemudian menjadi rasa sesal. Betapa aku dengannya memiliki masalah yang sama. Masalah yang seringkali disepelekan oleh para ibu di dunia. Betapa kami rupanya sudah tak berhasil mendidik keluarga. Kami terlalu bergelora mencari rupiah namun lupa akan status kami di rumah. Kami kelewat menjunjung karir sampai anak-anak terlantar dan suami tak terjamah. Menyedihkan!

Malam itu pun aku teringat putraku Yuda. Yuda keturunanku satu-satunya. Ia sama seperti kawan-kawannya, seorang remaja yang kekinian. Setiap hari berjumpa dengannya ia selalu tampak sama, tak ada yang berbeda. Ia sopan dan taat di rumah. Namun di hari yang lain, ia patahkan hatiku berkeping-keping.

“… anak ibu tertangkap basah melakukan pesta narkoba di vila…” Suara lewat telepon itu terasa masih hangat di telinga. Oh anakku… Dalam perjalanan menuju kantor polisi dengan kondisi jiwa yang tak menentu, tiga orang manusia tertabrak mobil sedan yang kukendarai. Kejadian kala itu membuat seluruh tubuhku rubuh. Ibarat lolos segala macam otot dalam tubuh. Lekas aku digiring ke tahanan setelah beberapa bogem mentah mendarat di wajah dan perut. Mendekamlah aku hingga persidangan usai, lalu digiringlah aku kemari. Ke sebuah Lapas.

“Mengapa semua ini terjadi?” Pertanyaan itu selalu aku lempar pada Wati. Dalam kesempatan apapun. Baik saat sarapan, mengepel, mencuci baju, atau menyabit ilalang liar. Tapi Wati hanya menjawab, “Barangkali kita belum dewasa.” Dewasa? Wati sering menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang kerap sama. Dewasa.

“Dewasa bagaimana lagi? Bukankah kita sudah dewasa? Bahkan sudah mulai renta pula!” Suatu hari aku tangkis jawabannya. Kemudian Wati yang kala itu tengah membersihkan toilet Lapas mengelap peluhnya sebentar lalu memandangku. “Ya, kita memang sudah dewasa secara fisik. Tapi ini dan ini masih bocah.” Wati menunjuk kepala dan dadanya seketika. Lalu kembali menggosok toilet. Dan entah mengapa percakapan dengan Wati itu berbekas hingga kini. Meskipun Wati tak ada lagi.

Setelah satu tahun aku tinggal di Lapas, Wati pun tutup usia. Ia sakit. Kena radang paru-paru. Jenazahnya ditanam di pekuburan umum di belakang Lapas. Saat sakit-sakitan Wati memang selalu berbicara ingin tinggal di Lapas saja. Alasannya sederhana, ia tak pernah sekalipun dijenguk sanak saudara. Lebih-lebih ia merasa seperti sebatang kara. Pun karena di sini ia bisa belajar banyak hal. Terlebih soal agamanya yang masih buta. “Engkau ikutilah pengajian-pengajian di masjid, supaya hatimu damai.” Seperti itulah pesan Wati saat menjalani pengobatan ala kadarnya di balik jeruji besi.   
Sebelum Wati wafat ia juga kerap menanyaiku pertanyaan yang membuatku pening kepala. Membuatku selalu gugup tidak keruan harus menjawab apa.

“Selepas keluar dari sini engkau hendak berumah tangga lagi?”

“Hm, entahlah, aku takut kembali bercerai.”

“Tak usah gusar, galilah agama yang kuat di sini, kemudian carilah lelaki yang baik agamanya serta bisa membimbingmu, perhatikan pula anakmu.”

Begitulah kiranya amanat Wati sebelum napasnya tersengal-sengal lalu putus selamanya. Boleh jadi itulah wasiat kematian darinya untukku. Membuat ucapnya terasa sakral dan patut kulakukan. Memang lisannya acap kali membuatku bermenung-menung. Mungkin setua ini aku belum paham cara membangun keluarga, tapi bukankah akan selalu ada ruas untuk peroleh ilmu dan memperbaiki diri? Ah Wati, kata-kata engkau memang berkali-kali betul. Terima kasih wahai Wati, dan selamat jalan…

***
Eika Vio adalah nama pena dari Eka Purwitasari. Seorang ibu rumah tangga dan pegiat sastra di Forum Lingkar Pena (FLP) Sumedang. Cerpen Wati adalah pemenang kedua dalam Lomba Cipta Cerpen Kemuslimahan Unpad 2015.


1 komentar:

Berkomentarlah dengan penuh santun.