Bismillah ...
Saya merasa
beruntung memiliki ibu yang suka membaca. Semasa saya kecil, sepulangnya dari pasar, ibu sering membawakan saya majalah
Bobo yang dibelinya dari penjual buku bekas. Setelah bosan membolak-balik
halaman majalah Bobo, seringnya koleksi majalah Femina dan majalah Kartini
milik ibulah yang selanjutnya saya lahap. Di situ hobi membaca saya tertanam.
Saya mulai sadar, kesukaan terhadap sesuatu, dalam hal ini buku, salah satu
faktornya yaitu dari orang-orang terdekat kita.
Menginjak remaja
dan dewasa, kesukaan saya terhadap buku bacaan semakin meningkat. Saya mulai
bergulat dengan orang-orang yang hobi baca dan nulis. Dalam hal ini, Forum
Lingkar Pena (FLP) menjadi salah satu tempat yang membentuk kepribadian saya.
Jika sebelumnya saya merasa puas setelah membaca untuk kemudian mencari bacaan
berikutnya, namun kali ini perasaan lain muncul. Saya merasa punya kewajiban
untuk memberitahukan apa yang telah saya baca kepada orang lain. Semenjak itu pula
saya mulai berusaha ‘meracuni’ orang-orang terdekat saya untuk ikut membaca.
Akhir tahun 2013,
sebuah ide untuk menggelar semacam taman baca keliling tercetus. Saya dan
teman-teman FLP Karawang bejibaku mengumpulkan buku-buku koleksi pribadi kami,
kemudian menyuguhkannya di sudut kota Karawang setiap Minggu pagi. Sebuah lapak
buku sederhana, kami menyebutnya: lapak KM.2, singkatan dari Karawang Membaca
Karawang Menulis. Dengan harapan, KM.2 menjadi rest area bagi mereka yang
kelelahan, haus dan lapar akan membaca. Orang-orang bisa duduk santai membaca
buku sehabis olah raga atau aktifitas Minggu pagi lainnya. Menyajikan satu
hidangan berbeda di antara hiruk pikuk akhir pekan kota lumbung padi yang kini
mulai beralih menjadi kota industri.
Sepekan, sebulan,
setahun.. waktu terus berganti, lapak buku kami tetap berjalan meski kadang
absen ketika personil kami berbenturan dengan agenda yang lain. Hingga akhirnya
titik jenuh itu muncul. Gairah dan semangat berbagi bacaan yang dulu menyala
akhirnya perlahan meredup. Kami melakukan evaluasi. Kami merasa tak banyak
kontribusi yang diberikan dari lapak buku yang kami gelar. Alasannya? Tak
banyak yang sengaja mampir untuk membaca. Tak banyak, bukan berarti tak ada. Di antara yang tak banyak itu, yang mampir dan
melirik buku hanya sepersekiannya. Dari sepersekian yang melirik buku, yang
kemudian membacanya di tempat semakin sedikit. Dari jumlah sedikit yang membaca
di tempat, yang akhirnya meminjam untuk dibawa pulang ke rumah hanya segelintir
saja. Kami menilai perjuangan ini tak senilai dengan hasilnya. Intinya ada
kekecewaan. Kami menyimpulkan bahwa kehadiran lapak yang buku-bukunya dipinjamkan
secara gratis, tak banyak menyumbang minat baca di kota Karawang. Belum lagi masalah
tenaga relawan yang semakin berkurang.
Di sisi lain, kami
juga mengevaluasi diri. Barangkali penyajian lapak baca kami kurang menarik,
jenis buku yang tidak pariatif atau mungkin judul-judulnya juga kurang update.
Hingga dalam rapat pengurus, tercetus beberapa ide, salah satunya untuk membubarkan
lapak baca tersebut. Buku-bukunya bisa disumbangkan ke perpustakaan atau
dilelang dan uangnya bisa didonasikan untuk kegiatan sosial semacamnya.
Sebetulnya, ini keputusan yang tidak sesuai dengan hati nurani saya. Secara
tidak langsung, kehadiran lapak buku setiap Minggu pagi di tengah kota Karawang
telah banyak memengaruhi kehidupan saya secara pribadi. Rentang waktu yang
cukup panjang untuk membuat saya lebih mencintai buku juga mencintai proses
yang ingin dicapai agar orang-orang memiliki bibit kecintaan yang sama.
Keputusan tersebut memang belum final. Bila diibaratkan, lapak KM.2 seperti
hidup segan mati tak mau.
**
Di suatu Minggu pagi
saya mampir ke lapang Karang pawitan, tempat di mana kami sering membuka lapak
baca. Sudah beberapa pekan ini lapak baca KM.2 tidak beroperasi. Saya sengaja
mampir ke sana untuk melepas rindu dengan tempat itu, sekedar duduk-duduk di
pendoponya sambil memandang orang-orang yang sedang berolah raga. Tiba-tiba
seseorang menyapaku dari belakang, “Kemana aja, Neng?” sambil tersenyum dan
memamerkan deretan giginya, seorang laki-laki berusia senja menyodorkan dua
buah buku berstampel FLP Karawang yang dia pinjam entah pekan kapan. Aku
menyambutnya dengan senyuman, “Sibuk, Pak. Kuliahya sudah mau tingkat akhir.
Teman-teman juga sibuk, hehe,” jawab saya.
Laki-laki itu duduk di samping saya,
beliau adalah salah satu pengunjung lapak baca dan lumayan sering meminjam
buku. “Karang Pawitan mah rame terus ya, Pak?” tanya saya, basa-basi. “Iya rame
orang olah raga. Dari minggu kemarin saya nyari-nyari yang gelar buku tapi gak
ketemu. Mau balikin buku dan pinjam lagi,” tukasnya pada saya. “Hm.. gitu?
Hapunteun nya, pak,” saya meminta maaf. Laki-laki itu merekahkan senyum lagi.
“Minggu kemarin saya sengaja ngajak cucu ke sini. Eh, Neng-nya gak ada,”
pungkasnya lagi. “Sekarang dia sudah balik lagi ke kota bareng ibunya. Cucu
saya itu hobi main game hp. Sudah kecanduan. Mangkanya pengin ngajak ke sini
biar baca-baca. Kali aja gitu, Neng, hobi main gamenya beralih jadi hobi baca
buku. Kayak Eneng.” Saya hanya bisa mengangguk dan tersenyum. Barangkali jika
bercermin, saya akan menemukan rona kecewa pada wajah saya. Kecewa karena
melewatkan sebuah kesempatan memberikan harapan...
Semenjak bertemu dengan
bapak tua pagi itu, semangat saya kembali menggebu. Ditambah beberapa ‘teror’
teman-teman relawan yang berkal-kali melempar pertanyaan yang sama, “Besok,
KM.2 kan?”
Maka dengan tegas
saya akan menjawab, “Hayuh!”
*catatan semangat
dalam rangka milad dua tahun lapak baca KM.2 FLP Karawang. semoga semangat itu
tak pernah pudar..
Lina Astuti, pegiat Forum Lingkar
Pena (FLP), Ketua Cabang FLP Karawang 2013-2015
Pasang surut semangat itu wajar tapi jangan biarkan ia hilang dan memudar
BalasHapusYuk gelar KM.2 ^_^
Pasang surut semangat itu wajar tapi jangan biarkan ia hilang dan memudar
BalasHapusYuk gelar KM.2 ^_^