Dulu
kami (saya dan teman-teman kampus satu kelas) mendapat tugas membuat laporan
penelitian mini tentang permasalahan sosial masyarakat disekitar kami tinggal.
Yang menarik perhatian kami adalah masalah Religiulitas PSK (Pekerja Seks
Komersial) dan Waria. Pada kesimpulannya, mereka (PSK & Waria) masih
beribadah sebagaimana masyarakat biasa yang berprofesi benar dan halal, bahkan
lebih memiliki kecenderungan sosial yang tinggi. Contoh kasus : menurut pemilik
warung dekat rumah PSK, tak pernah nganjuk (ngutang), sedangkan tetangga
lain yang bekerja ditempat halal selalu berhutang.
Namun
sekarang, saya akan bercerita tentang seseorang yang lebih dekat. Seorang kawan
yang sudah berpuluh tahun menghabiskan waktu bersama sehingga berjuta cerita
telah kami bungkus dalam berbagai kemasan. Takkan pernah kami jual, meski
banyak yang berminat dan menawarkan untuk difilmkan. Jika ada yang mau
mengambil untung, kami tak mau, tapi bila ada yang ingin mengambil hikmah
dengan senang hati kami bagi.
Cerita
saya mulai disebuah kampung sebelum ayam berkokok, ketika kami mendengar suara
seseorang yang sedang mengaji di masjid menggunakan microphone. Kadang kawan saya itu sering bilang, sayang suara ngaji
yang tiap hari kami dengar dari masjid itu tanpa dibarengi kaidah mengaji yang
syar’i. Kurang tartil. Tapi menurut saya, seseorang yang di masjid
sana lebih baik daripada kawan saya yang bangun subuh bukan menyentuh air wudhu
malah memijit remote TV, menonton program acara yang kurang bermakna sambil
menunggu azan subuh.
Kebiasaannya
mandi terlebih dahulu sebelum salat subuh.
Pakaian bersih, memakai wangi-wangian seperti layaknya sunnah-sunnah yng
dilakukan para pria ketika hendak pergi salat jum’at. Setelah kumandang azan
berhenti lima menit yang lalu, kawan saya itu menggelar sajadah empuk, wangi,
dan selalu terlihat baru. Padahal saya tahu, kami membeli sajadah itu bersama, 7
tahun yang lalu. Masjid hanya terhalang 5 rumah tetangganya dan ia salat subuh
dirumah saja. Jadi ingat video yang kawan lain perlihatkan pada saya. Kira-kira
pesannya seperti ini, “perjalanan
terjauh dan terberat seorang lelaki adalah
perjalanan ke masjid. Sebab banyak orang kaya yang tidak sanggup
mengerjakannya. Jangankan sehari 5 waktu, bahkan banyak pula yang seminggu
sekalipun terlupa. Tidak jarang pula seumur hidup tidak pernah singgah kesana.”
Pernah
saya meminjam kamera Handphonenya.
Layar utamanya dipenuhi aplikasi religi. Do’a pagi dan sore salah satunya, pantas
tiap pagi sering melihat kawan saya itu asik masyuk dengan HPnya tanpa
menyentuhnya, sekedar dilihat sambil sesekali menggeser layar. Tapi itu, 3
tahun yang lalu. Pernah ganti HP, aplikasi dipasang lagi dan sekarang pun,
aplikasi-aplikasi itu masih terpasang.
Ketika
waktu dhuha tiba, selalu ia berkata tentang niat berdo’a karena
paham akan makna pahalanya. Satu saja alasan yang menggugurkan niatnya. Karna
ia sedang bekerja, dan bekerja adalah sama ibadah juga. Kesempatan selalu
menyambanginya, namun ia selalu ragu menyempatkan diri. Timbul keyakinan dalam
diri, bahwa esok mungkin tak sesibuk hari ini.
Jelang
zuhur waktu stamina semakin kendur, ia tahu cara mengubur rasa itu. Ambil wudhu
dan segera salat. Kebetulan tempat kerjanya ada mushala
mungil, namun suka dijadikan tempat ngerumpi ibu-ibu atau babysitter yang menunggui anak atau anak majikannya. Setelah cari
informasi, ternyata ada masjid yang
dekat. Jika ijinpun takkan memakan waktu lama, sekalian istirahat makan siang.
Maaf,
kawan saya itu “haget” (antusias) salat
berjamaah dimasjid bukan karena tahu
keutamaannya. Sering saya lihat, selesai salam bukannya langsung zikir malah
langsung membuka HPnya yang dari tadi terus bergetar. Seperti sibuk melayani
SMS, BBM, LINE, WhatsApp atau apapun namanya. Sesekali senyumnya mengembang,
mengernyitkan dahi, pasrah, dan ekspresi lannya. Lupa, kalau ia tengah meminta
apa. Lupa, kalau ia tengah bersama siapa. Lupa, untuk apa ia di sana.
Setelahnya, ia rebahan melemaskan seluruh anggota badan seperti kemarin dan
hari-hari sebelumnya setelah semua jama’ah masjid pulang.
Sore
hari untuk salat ashar, sudah sampai masjid sebelum muazin mengumandangkan azan.
Namun, selesai rakaat pertama, ia masih berada di selasar. Akhirnya masuk masbuk. Kawan saya bilang, malas salaman
bergantian setelah zikir di masjid
itu. Mungkin di masjid dekat rumahnya tidak ada yang seperti itu.
Karena
ada aktivitas tambahan, akhirnya magrib selalu dalam perjalanan. Suara
panggilan azan yang menggema di mana-mana
dan dalam radius yang sangat dekat, tak sedikit pun
menggugah hatinya untuk memarkirkan kendaraannya di area parkir masjid. Karena
menurutnya tak butuh lebih dari 20 menit sampai ke rumah, bahkan 10 menit bisa.
Kalau mau hitung-hitungan waktu, salat
itu bisa kurang dari 7 menit.
Sesampainya
dirumah, meski waktu sangat pendek, ada banyak hal yang harus dipersiapkan
supaya ibadahnya khusyuk. Pakaian
yang lusuh dan mungkin kotor juga badan yang bau dan dalam kondisi letih.
Setidaknya beristirahat sejenak. Yang tak pernah disadarinya, sejenak itu lebih
dekat ke waktu Isya.
Waktu
Isya pun tiba, kawan saya sudah keluar dari alam nyata. Entah apa yang
terjadi tadi siang yang membuat ia mengigau berteriak sangat keras. Dengan
kondisi tv di kamar menyala dan dalam posisi telentang diatas sajadah berubah
arah menjauh kiblat. Setelah sadar ia cepat-cepat berwudhu dan salat
isya, sayup-sayup terdengar suara mengaji dari masjid dekat rumah. Kitab Al Qur’an
masih tersimpan dalam tas kerjanya. Tak pernah lupa ia bawa kemanapun, tapi tak
pernah ia buka. Mungkin jika ada film dari negara tetangga, judulnya kira-kira seperti
ini, “Aktiviti
Lelaki Masa Kini”.
Astagfirullah..... ketika kami bercermin dalam cermin yang sama, tampaklah dua
wajah yang tak beda. Kawan itu adalah saya. Lalu, apa beda saya dengan PSK
& Waria cerita diatas. Kita sama-sama yakin dan paham aturan dan kitapun
sama dalam realisasi.
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan penuh santun.