Perlu ditelisik lebih mendalam soal tips menulis yang diutarakan maestro prosa, Pramoedya Ananta Toer bahwa kunci sukses menulis adalah tiga: (1) menulis, (2) menulis dan (3) menulis. Tentu saja nampak mudah dan aplikatif. Tapi sayangnya saya sering kali tersendat ketika pena telah di atas kertas atau jemari sudah di atas keyboard, seolah tiga tips dari yang tidak diragukan lagi kepiawaiannya menulis menjadi selogan angan-angan belaka: tak berhasil membuat saya menjadi seorang penulis. Tapi ada hal yang perlu dikaji, yakni bagaimana ia dapat berkata seperti itu, serta kepada siapa ia berkata.
Ungkapan
alah bisa karena biasa atau dalam
bahasa Sunda, boga peurah ku sabab peurih,
ini pantas ditujukan kepada Pramoedya Ananta Toer. Ia telah bisa karena
terbiasa. Terbiasa dengan pena, kertas-kertas, menuangkan pelbagai pikiran. Ia
telah terbiasa dengan karya. Lagi dan lagi, tak kenal henti. Walau—kita semua
tahu—jeruji besi mengungkung raganya bertahun-tahun, tapi tidak daya dan
pikirnya, apalagi hati. Pramoedya Ananta Toer juga sudah punya peurah untuk memberi tiga tips tersebut,
sebab ia sudah merasakan peurih-nya
perjuangan untuk menggapai satu perkara yang saat ini kita bicarakan: menulis.
Ada
lagi. Kata AS. Laksana, apapun akan mudah dilakukan kalau kita ahli, bidang
apapun itu. Ini kunci. Dan pintu mustahil terbuka tanpa ada kunci (kecuali
didobrak). Seorang ahli, akan mudah mengerjakan sesuatu sesuai dengan
keahliannya. Badminton, misalnya. Orang awam, yang hanya tahu memukul kok dengan
raket, lantas bertanding dengan lawannya yang sudah malang melintang di
berbagai turnamen, jangankan mengalahkan, diberi poin satu pun rasanya perlu
keajaiban. Ia bukan hanya jadi bulan-bulanan, bahkan bahan tertawaan semua
orang. Orang bodoh mana yang mau ditertawakan seapes itu? Kita tidak akan
begitu naas kalau hal serupa terjadi pada cabang sepak bola, voli, atau catur.
Bagaimana kalau tinju? Atau yang lebih parah: renang?
Begitu
pula dengan menulis. Kegiatan satu ini juga perlu keahlian. Andai menulis
seperti olah raga sepak bola, maka sebelum masuk dalam sebuah tim, kita mesti
belajar mengenal prinsip-prinsip bermain sepak bola terlebih dahulu. Dimulai
dari memegang bola, menggiring bola, menggocek tanpa rintangan, dengan
rintangan, menendang bola, mengoper bola, memasukkan bola ke dalam gawang,
sampai bagaimana menerapkan strategi bermain bola dalam sebuah pertandingan
percobaan. Ini perlu proses. Dan proses senantiasa membutuhkan waktu. Boleh
kita tonton film tentang perjalanan Cristiano Ronaldo soal keahliannya mengolah
si kulit bundar (saya baru niat menonton, he…). Ia bukan sosok sembarangan
dalam jagat persepakbolaan. Ia bintang, maestro, ahli di bidang sepak bola.
Tidak ada yang meragukannya. Dan tentu proses menjadi bintang tak lantas jadi, bukan?
Menulis
juga tak beda. Kecuali kalau kita mendefinisikan menulis sedangkal memegang
pena lalu mengguratkan huruf demi huruf menjadi kata-kata seperti anak SD.
Menulis itu merangkai, menjalin, bukan hanya huruf-huruf, atau kata-kata, atau
kalimat demi kalimat, melainkan pikiran, isi hati, ide kreatif dan pelbagai hal
penambah nilai estetika. Menulis lebih rumit dari bermain sepak bola walau
nampaknya hanya duduk-duduk di depan komputer. Menulis perlu energi lebih. Dan
itu tak cukup hanya dengan mengguratkan huruf-huruf saja. Itulah kenapa jalan
penulis itu terjal. Penuh rintangan. Yang penulis hadapi tidak hanya pembaca
yang tidak sekadar membaca, tapi para kritikus. Bahkan diri sendiri! Bukankah konon
rintangan terbesar saat ingin menulis adalah mood? (ah, dasar hamba mood!)
Maka
berproseslah! Sebab proses tak pernah berkhianat pada hasil.
Jika
saat ini karya kita ditertawakan orang. Itu saatnya kita sadar, bahwa kita
masih awam di bidang ini. Jika babak belur dihajar para kritikus, jangan risau,
itu pertanda kita masih belajar. Masih amatir. Boleh kita mengirimkan karya ke koran
nasional yang sering kali menjadi barometer label sastrawan, tapi jangan kecewa
kalau berkali-kali dapat penolakan. Itu wajar, sebab jangankan koran nasional, lomba di facebook yang mau daftar saja
ribetnya minta ampun pun (berbayar lagi), kita masih belum lolos. Ini proses.
Harus dijalani. Dan proses penulis tidak seperti merebus mie instan.
Tunggu
apa lagi? Mulailah sekarang juga untuk mengenal proses. Proses jadi penulis. Proses
menulis. Bacalah sebanyak-banyaknya, serakus-rakusnya. Buka kembali modul-modul
pelatihan yang pernah kita ikuti, datangi para penulis pengalaman,
berdiskusilah dan belajarlah pada mereka. Lalu angkatlah pena, pastikan
tintanya ada. Siapkan buku tulis dan tulislah! Atau nyalakan komputer atau
laptop, buka file word dan ketiklah! Berlatihlah! Berproseslah!
Kemudian
saya beranggapan bahwa, pertama, Pramoedya Ananta Toer bisa berkata bahwa untuk
menjadi penulis hanya dengan melakukan tiga hal di atas saja, itu karena memang
ia sudah melewati proses. Sudah ahli. Sudah pernah ditertawakan, dikritik dan
kalah. Yang semua itu belum atau tengah kita alami saat ini. Dan kedua,
nampaknya Pramoedya Ananta Toer bicara seperti
itu bukan pada orang amatiran kayak kita. Tapi orang yang mungkin
setaraf dengan AS. Laksana atau lebih.
Entahlah…
Bandung,
12/11/2015
AbdullahHaaris, pegiat Forum Lingkar Pena (FLP),
ketua FLP cabang Bandung periode 2015-2017
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan penuh santun.