Breaking News
Loading...
11/07/2015

Info Post

Malahayu. Pukul 4 sore. Kau berdiri di depan pintu pagar menuju Turn (penduduk setempat biasa menyebutnya Turen). Kau mengeluarkan kamera digital dari tas ransel. Kemudian memanggil Amir untuk mendekat. Amir menghampirimu setengah berlari. Kau memintanya mengambil gambarmu di depan pintu pagar Turn. Amir mundur beberapa langkah, Ia mulai menghitung. Tak ada cahaya jepretan, hanya suara. Segera setelah jepretan pertama, kau ingin Amir melakukan jepretan berikutnya. Tapi Amir tak merespon keinginanmu kali ini. Ia terpaku pada hasil jepretannya yang pertama. Wajah Amir terlihat pucat. Mulutnya berdecak berkali-kali. Tubuhnya tampak bergetar. Setelah memanggilnya sebanyak empat kali, Ia baru menoleh ke arahmu. Lalu sambil menyodorkan kamera digital, Ia berkata dengan nada bergetar dan putus-putus, “Mas bro, mas bro ha-rus li-hat i-ni…”


Di atas kursi bus Bejeu, kau memeriksa pesan singkat terakhir yang masuk. Kau membaca potongan kalimat terakhir, “…200 meter setelah alun-alun.” Dan baru saja kau melihat alun-alun kota brebes. Kau berteriak seperti orang yang sedang kesurupan, meminta bus untuk segera berhenti. Sebuah kopor dan tas ransel di punggung, kau boyong keluar dari bus. Ketika bus mulai melaju, kau bisa melihat orang-orang sedang memperhatikanmu. Mungkin diantara mereka ada yang mengataimu ‘dasar gila’, hanya saja mungkin kaca tebal bus menahan suara itu, atau mungkin hati baik mereka yang menahannya, seperti hatimu yang kini sedang menahan suara-suara jahat yang ada dalam pikiranmu tentang mereka.

Kau turun tepat di depan kantor empat bulanmu kedepan. Dari seberang jalan, kau bisa melihat papan nama kantormu berdiri menjulang di tepi jalan. Warna biru-kuningnya memudar karena panas dan hujan.

Bangunan kantormu besar, berlantai tiga. Lantai dua memiliki lebih banyak jendela ketimbang lantai tiga, meski kau tidak menghitungnya. Tempat parkirnya luas, cukup untuk ratusan motor dan puluhan mobil. Beberapa pohon tumbuh dengan subur disana. Di bawah pohon paling besar, di luar pagar kantor, berdiri sebuah warung nasi.

Seorang OB (Office Boy) menghampirimu setibanya kau tiba di pintu masuk kantor. Kau memperhatikan papan nama yang menempel di atas saku bajunya. Ia menawarimu bantuan. Andaisaja kau tidak sedang merasa bahumu akan segera copot, kau mungkin akan menolaknya. Jadi, kau menerima bantuannya. Ia memintamu untuk mengikutinya. Kau segera mencegahnya ketika Ia berusaha mengangkat kopormu ke bahunya, “Diseret saja mas, kopornya punya roda.” OB itu menaruh kembali kopormu ke lantai dan mulai menyeretnya. Beberapa kali kau memergoki tatapan matanya yang mencuri-curi pandang ke alas kopor.

OB itu membawamu menerebos sebuah pintu bertuliskan ‘selain karyawan dilarang masuk’, tulisan yang lebih dipatuhi ketimbang ‘dilarang merokok’. Tujuh langkah kemudian Ia berbelok menuju tangga ke lantai dua. Disana, OB itu meminta ijinmu, “Mas bro, sekarang boleh saya angkat kan?”
Kau tersenyum geli. Lalu OB itu mengangkat kopormu di atas kepalanya dan melihat sendiri jika roda itu memang ada. Ia kelihatan sangat senang. Di dunia ini terkadang hal-hal sepele sudah bisa membuat orang bahagia.

Kau sedang menaiki anak tangga terakhir ketika OB itu menurunkan kopormu ke lantai. Ia berhenti tepat di depan pintu masuk menuju sebuah ruangan. Ia lalu menunjuk ruangan di depannya itu, “Ini ruangan untuk mas bro,” lalu menunjuk ruangan sebelahnya, “Nah, kalau yang itu ruangannya bos besar. Tapi sekarang si bos sedang tidak ada di ruangannya. Sambil nunggu si bos, mendingan mas bro istirahat saja dulu di dalam.”

Kau mengangguk pelan, “Terimakasih ya mas Amir.”

“Lho kok si mas bro tahu nama saya.” OB itu kaget.

Kau menunjuk papan namamu. OB itu pun melihat benda itu, kemudian melihat benda yang sama diatas saku bajunya dan baru sadar jika ternyata Ia juga punya.

“Kalo Mas Pleno butuh bantuan, panggil saja Mas Amir ya. Hohoho,” Amir meninggalkan ruanganmu dengan pintu tertutup dibelakangnya.

Baru saja kau merebahkan tubuhmu di atas kursi kantor yang empuk, seseorang mengetuk pintu dari luar. Ia meminta ijin untuk masuk. Belum sempat kau beranjak dari kursimu, si pengetuk sudah menerobos masuk, “Maaf pak, mengganggu,” Ia memperhatikan jam tangannya. Disodorkannya sebuah map biru, “Ini ada map pengajuan. Sudah dua hari tertahan, soalnya nunggu pak CA (Credit Analist). Mohon untuk dianalisa secepatnya. Terimakasih” Lalu si pengetuk meninggalkanmu berduaan dengan map biru itu. Tapi tidak lama, karena sepuluh detik kemudian Amir masuk membawa secangkir kopi panas, alat penyegaran. Ketika meletakkan kopi itu, matanya sempat menangkap deretan hurup di map biru. Iapun bersuara dengan nada terkejut, “Malahayu mas bro?”

Tiba-tiba kau merasa lelahmu hilang dalam sekejap dan menatap Amir lekat-lekat, “Ada apa memangnya mas dengan malahayu? Apa itu daerah black list kita?”

Amir tampaknya bingung dengan ucapanmu.

“Maksud saya, apakah wilayah malahayu itu orang-orangnya tidak baik untuk kita jadikan nasabah?” kau menyederhanakan penjelasan.

“Oh, bukan,” Amir menyanggah, “Kalau dengar tentang malahayu saya jadi inget kejadian bulan februari 2013 kemaren.” Lanjut Amir sambil menarik keluar kursi di depan mejamu, lalu duduk, “Tiga orang meninggal lho mas bro dan satu nggak apa-apa.”

“Oh ya?” kau menanggapi Amir dengan serius.

“Kejadiannya di sebuah bangunan mirip menara yang menjorok ke tengah waduk. Orang-orang Malahayu sih menyebutnya Turen. Jadi begini ceritanya mas bro. Waktu itu ada empat orang pekerja. Katanya sih sedang memperbaiki dinding Turen yang bocor. Para pekerja itu, untuk naik-turun di dalam Turen, pake tangga atau lift. Kan lumayan tinggi mas bro Turen itu, sekitar 25 meteran lah. Waktu kejadian itu, yang saya denger mas bro, satu orang sedang naik lift, sementara dua lainnya sedang memperbaiki yang bocor di bawahnya. Eh, pas di tengah-tengah ternyata liftnya macet dan tiba-tiba, jeplaak, putus. Si orang satu yang ada di lift, ya langsung meluncur ke bawah mas bro. Sementara dua orang di bawahnya ya otomatis mas bro. Ketiban. Kegencet. Mati waktu itu juga. Dan yang jatuhnya sih sempet dirawat katanya, tapi tetep nggak ketolong. Sementara yang selamat, saya denger sih, dia sejak awal emang udah gak niat naik lift, takut jatuh katanya.” Amir mengakhiri cerita sambil menyeruput kopi panas yang dibawanya.

Ia meletakkan kopi itu dan melanjutkan, “Bukan hanya itu mas bro. Waduk itu juga bisa ngedatangin sial.” Amir menyeruput kopi lagi.

Kau melihat kopi itu dan ada perasaan tidak rela di dalam hatimu, kaupun bergumam pelan, “Sial!”
“Iya pak bener, sial,” Amir melanjutkan, “Buktinya teman saya sehabis dari sana langsung ketiban si–”

“Dia mati juga?” kau memotong ceritanya.

“– bukan mas bro. Dia diputusin ceweknya sehabis pacaran disana. Padahal sebelumnya sudah saya bilangin untuk tidak membawa pacar ke tempat seperti itu, nanti ketiban sial. Sial deh dia, diputusin pacarnya.”

“Oh, saya kira…” kau menelan ludah ketika Amir menyeruput tetesan kopi terakhir.
Melalui cangkir yang masih menempel di bibirnya, ia melihat wajahmu dan teringat sesuatu tentang kopi itu, “Eh,”


Malamnya, kisah Amir masih terngiang-ngiang di telingamu. Kau pun dibuatnya tak bisa tidur. Bukan karena takut membayangkan kisah di Turen itu, melainkan ada rasa penasaran yang begitu besar di dalam dirimu. Sambil menunggu kantuk tiba, kau membuka laptop dengan modem yang menancap di colokan USB. Berselancar di google. Kata pertama yang kau tuliskan adalah ‘waduk malahayu’. Begitu kau menekan ‘enter’, muncul beberapa pilihan ‘link’. Di urutan teratas ada wikipedia. Di wikipedia kau mendapatkan gambaran singkat tentang waduk malahayu.

Di link-link berikutnya kau mendapati informasi yang lebih menarik. Beberapa diantaranya mengenai tempat-tempat angker di malahayu, salah satunya adalah Turen. Serta legenda waduk malahayu, kisah seorang puteri raja yang membasuh wajahnya dengan air waduk agar selalu ayu (cantik).


Pagi-pagi sekali kau sudah tiba di kantor. Amir orang pertama dan satu-satunya yang kau temui. Setelah menyapa Amir yang sedang sibuk dengan pekerjaannya, kau bergegas menuju ruanganmu. Ada satu hal yang tidak terpikirkan olehmu semalam, ingin kau coba saat ini juga. Kau mengeluarkan laptop, menancapkan modem, lalu membuka aplikasi google earth. Kau memilih opsi direction kemudian mengisi kolom from dengan kata ‘alun-alun brebes’ dan kolom to dengan kata ‘waduk malahayu’. Begitu kau mengklik tombol begin search muncul beberapa keterangan diantaranya: jarak yang harus kau tempuh dari kantormu sekitar 43,9 km, serta lama waktu yang kau butuhkan lebih kurang 1 jam 11 menit.

Akan tetapi, bukan itu sebenarnya yang paling ingin kau coba. Kau ingin melihat Turen. Karena itulah kau menuliskan kata ‘waduk malahayu’ di kolom  fly to. Gambar berpindah secara otomatis dan membesar. Kau terkejut ketika melihat bentuk waduk malahayu. Awalnya kau mengira jika waduk malahayu itu memiliki bentuk setidaknya menyerupai sebuah lingkaran atau oval.

Waduk seluas 944 hektar itu, memiliki bentuk yang tidak karuan. Mungkin hal ini dikarenakan, hanya sebagian kecil saja yang melibatkan tangan manusia. Sehingga bentuknya lebih mengikuti keinginan alam. Kau melihat Turen sebagai sebuah titik putih dengan sebuah garis lurus yang menghubungkannya ke tanggul penahan air. Perlahan, kau menggerakkan kursor ke arah selatan, menyusuri tepian waduk. Kau menghentikan laju kursor ketika melihat sesosok wajah perempuan yang terbentuk dari tepian waduk. Sosok itu menghadap ke arah barat. Kau jadi tambah bertanya-tanya. Mungkinkah sosok itu ada hubungannya dengan legenda waduk malahayu?


Kau menghubungi Pak Cartim, klien pertamamu. Setelah membaca secara singkat profilnya, kau baru menyadari jika pekerjaan Pak Cartim sangat dekat sekali hubungannya dengan waduk malahayu. Dia adalah seorang joki perahu objek wisata waduk malahayu. Kau segera mengatur jadwal pertemuan dengannya. Melihat jam di laptopmu, kau berkata pada laki-laki 47 tahun di ujung telepon itu, “Jam dua siang ini pak.”

Motor dinasmu masih dalam perjalanan menuju kantor barumu. Kau menemui bos besar diruangannya untuk meminta ijin agar Amir dibolehkan mengantarmu untuk menganalisa klien pertamamu.

Di tengah perjalanan, Amir terus berteriak kegirangan. Baginya bisa keluar kantor di jam kerja adalah sesuatu yang sama menyenangkannya dengan memenangkan sebuah undian utama. Satu hal sepele lagi yang bisa membuat orang bahagia.

Sepanjang perjalanan, kau menyisir pemandangan secara bergantian. Terkadang kau menoleh ke kiri untuk memperhatikan deretan toko penjual telor asin. Terkadang pula kau menoleh ke kanan, memperhatikan kendaraan-kendaraan besar yang berjalan berlawanan arah. Namun, ada momen sepintas yang sangat menarik perhatianmu ketika menoleh ke arah kanan. Puluhan perahu nelayan sedang parkir di dermaga. Dua buah perahu berisikan tiga sampai lima orang. Mereka turun membawa sebuah kotak berisi hasil tangkapan yang dibekukan. Sementara para calon pembeli segera menyerbu ketika kotak itu diletakkan di tanah.

“Ini daerah Kluwut, Kecamatan Bulakamba mas bro” jawab Amir ketika kau bertanya, “Sudah sampai mana ini?”

Sepanjang jalur besar Pantura, Amir melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Hampir saja kau merasa menyesal telah meminta Amir mengantarmu jika saja, Amir tidak segera menurunkan kecepatan, lalu berbelok ke arah selatan.

Butuh dua puluh lima menit dari jalur Pantura untuk bisa sampai ke desa malahayu, dengan selamat. Setelah melewati pasar Kecamatan Banjarharjo, kau baru bisa merasakan sesuatu  yang alami. Andai saja berkedip sedikit lebih lama, Kau pasti sudah mengira baru saja melewati sebuah lorong waktu. Cepat sekali pemandangan berubah.

Setelah melewati sebuah gapura dan jembatan besi tua, kau berhadapan dengan dua orang petugas pintu masuk lokasi wisata waduk malahayu. Kau mengeluarkan satu lembar uang dua ribu rupiah untuk biaya retribusi. Salah satu hal sepele yang bisa membuat orang bahagia, murah.

Amir memarkir motornya di bawah tangga menuju waduk malahayu. Dari arah belakang, kau mendengar Amir menghitung anak tangga yang dinaikinya. Tidak sampai dua puluh, Ia lupa dengan angka selanjutnya setelah kau menanyakan apa yang sedang dilakukannya. Amir menggaruk kepalanya, kemudian Ia turun kembali menuju anak tangga pertama. Sementara kau meneruskan pendakian anak tangga tersisa. Setibanya di atas tanggul penahan air, kau merasa seakan sedang berada di atas dunia. Anginnya berhembus begitu kencang. Dikelilingi bukit dan pohon jati serta mahoni, waduk malahayu tampak seperti kolam ikan dengan berbagai hiasannya. Kau mengarahkan pandanganmu ke arah air. Kau melihat tiga buah perahu ditambatkan dan sebuah perahu yang sedang melaju perlahan di atas air. Salah satu pemilik perahu yang ditambatkan mengangkat telponnya ketika kau menghubungi nomor Pak Cartim.

“Di atas sini pak” kau melambaikan tangan pada salah satu pemilik perahu itu. Kemudian kau berjalan mengikuti jalan landai yang memutar ke arah selatan.

Dari dekat Pak Carim terlihat jauh lebih tua dari umurnya. Kulitnya hitam setelah sekian lama tertempa sinar matahari. Perawakannya tidak terlalu tinggi. Saat kau berjalan disampingnya, kepalanya sejajar dengan pundakmu.

Pak Carim mengajakmu duduk di sebuah kursi tembok. Pohon beringin yang berdiri di belakangnya meneduhkan. Walau pandanganmu tak seluas ketika kau berada di atas tanggul, kau masih bisa bukit dan pepohonan yang memenjara air waduk.

“Butuh seharian penuh untuk bisa mengelilingi seluruh waduk malahayu.” Pak carim membuka obrolan.

Sejujurnya, itu yang sangat ingin kau dengar.

Amir mucul tiba-tiba dengan nafas terengah. Ia mengaku telah mencarimu kemana-mana. Ia sangat takut jika kau hilang. Kau kan pendatang baru disini.

Pak Carim yang mendengarnya tersenyum geli, “Jangan terlalu berlebihan mas. Waduk malahayu tidak seseram cerita orang kok. Setiap tahunnya, banyak orang yang datang untuk pertama kalinya, tapi toh mereka tetap bisa pulang dengan selamat.”

“Tapi kan pak?” mulutmu  memang terbuka tapi itu suara Amir.

“Ya, sama seperti di tempat lain. Disinipun banyak kejadian mas; entah itu kecelakaan, bencana, atau kejadian lainnya. Hal seperti itu memang wajar terjadi kan? Hanya saja memang, karena waduk malahayu ini memiliki nilai sejarah serta banyak legenda serta mitos yang diwariskan oleh nenek moyang terdahulu maka seperti kurang puas rasanya jika setiap kejadian yang terjadi disini tidak dikaitkan dengan hal-hal berbau mitos ataupun mistis. Contohnya waktu kejadian di Turen itu” lanjut Pak Cartim sambil melongok ke arah Turen, “Sebuah kecelakaan yang bisa terjadi dimana saja.”

Kau ingin bertanya lebih banyak, tapi penjelasan Pak Carim telah menjawab setiap rasa penasaranmu.
“Akan tetapi, bukan berarti kita boleh berbuat sesukanya. Ya, namanya juga tempat asing mas, bisa saja ada hal-hal yang tidak kita ketahui dan bisa membahayakan diri kita. Jadi kehati-hatian tetap diperlukan. Karena itu, bapak sih selalu ingat kata pepatah, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Intinya, selalu sopan dan santunlah dimanapun kita berada.” Pak Carim mengakhiri pemaparannya dengan nasehat sederhana.

Setelah pamit, kau mengajak Amir untuk melihat Turn dari dekat. Kau tertahan di depan pintu masuk menuju Turn, pintu  pagarnya terkunci. Memang tidak semua orang bisa sembarangan masuk ke lokasi itu. Dan untuk kenang-kenangan kau bermaksud mengabadikan gambar dirimu yang sedang berdiri di depan Turen.



Kau  melangkah perlahan mendekati Amir yang masih mematung. Kau mengambil kamera digital dari tangannya yang kaku. Kau melihat hasil jeperetannya tadi. Tidak ada yang aneh, di foto itu kau melihat dirimu sedang tersenyum ke arah kamera dengan latar belakang Turn dan sedikit air waduk. Tapi, tunggu dulu, kau mengusap matamu beberapakali, barangkali itu hanya debu yng mengganggu penglihatanmu. Tapi bukan, matamu baik-baik saja. Pandanganmu menembus melewati bahumu, dibelakang turen kau bisa melihat sesosok bayangan samar hitam yang melayang di atas air.


Agus Septian Siswandana atau dikenal dengan nama pena Agus Shahafi Nashshar adalah penulis pegiat Forum Lingkar Pena (FLP), menjadi ketua umum FLP Kuningan 2015-2017. Bisa dihubungi melalui microblog Facebook di Agus Shahafi Nashshar.

0 komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan penuh santun.