Di atas kursi bus
Bejeu, kau memeriksa pesan singkat terakhir yang masuk. Kau membaca potongan kalimat
terakhir, “…200 meter setelah alun-alun.” Dan baru saja kau melihat alun-alun
kota brebes. Kau berteriak seperti orang yang sedang kesurupan, meminta bus
untuk segera berhenti. Sebuah kopor dan tas ransel di punggung, kau boyong
keluar dari bus. Ketika bus mulai melaju, kau bisa melihat orang-orang sedang
memperhatikanmu. Mungkin diantara mereka ada yang mengataimu ‘dasar gila’,
hanya saja mungkin kaca tebal bus menahan suara itu, atau mungkin hati baik
mereka yang menahannya, seperti hatimu yang kini sedang menahan suara-suara jahat
yang ada dalam pikiranmu tentang mereka.
Kau turun tepat
di depan kantor empat bulanmu kedepan. Dari seberang jalan, kau bisa melihat
papan nama kantormu berdiri menjulang di tepi jalan. Warna biru-kuningnya
memudar karena panas dan hujan.
Bangunan
kantormu besar, berlantai tiga. Lantai dua memiliki lebih banyak jendela
ketimbang lantai tiga, meski kau tidak menghitungnya. Tempat parkirnya luas, cukup
untuk ratusan motor dan puluhan mobil. Beberapa pohon tumbuh dengan subur
disana. Di bawah pohon paling besar, di luar pagar kantor, berdiri sebuah
warung nasi.
Seorang OB (Office Boy) menghampirimu setibanya kau
tiba di pintu masuk kantor. Kau memperhatikan papan nama yang menempel di atas
saku bajunya. Ia menawarimu bantuan. Andaisaja kau tidak sedang merasa bahumu akan
segera copot, kau mungkin akan menolaknya. Jadi, kau menerima bantuannya. Ia
memintamu untuk mengikutinya. Kau segera mencegahnya ketika Ia berusaha
mengangkat kopormu ke bahunya, “Diseret saja mas, kopornya punya roda.” OB itu
menaruh kembali kopormu ke lantai dan mulai menyeretnya. Beberapa kali kau
memergoki tatapan matanya yang mencuri-curi pandang ke alas kopor.
OB itu membawamu
menerebos sebuah pintu bertuliskan ‘selain karyawan dilarang masuk’, tulisan
yang lebih dipatuhi ketimbang ‘dilarang merokok’. Tujuh langkah kemudian Ia
berbelok menuju tangga ke lantai dua. Disana, OB itu meminta ijinmu, “Mas bro,
sekarang boleh saya angkat kan?”
Kau tersenyum geli.
Lalu OB itu mengangkat kopormu di atas kepalanya dan melihat sendiri jika roda
itu memang ada. Ia kelihatan sangat senang. Di dunia ini terkadang hal-hal
sepele sudah bisa membuat orang bahagia.
Kau sedang
menaiki anak tangga terakhir ketika OB itu menurunkan kopormu ke lantai. Ia
berhenti tepat di depan pintu masuk menuju sebuah ruangan. Ia lalu menunjuk
ruangan di depannya itu, “Ini ruangan untuk mas bro,” lalu menunjuk ruangan
sebelahnya, “Nah, kalau yang itu ruangannya bos besar. Tapi sekarang si bos
sedang tidak ada di ruangannya. Sambil nunggu si bos, mendingan mas bro
istirahat saja dulu di dalam.”
Kau mengangguk
pelan, “Terimakasih ya mas Amir.”
“Lho kok si mas
bro tahu nama saya.” OB itu kaget.
Kau menunjuk
papan namamu. OB itu pun melihat benda itu, kemudian melihat benda yang sama
diatas saku bajunya dan baru sadar jika ternyata Ia juga punya.
“Kalo Mas Pleno
butuh bantuan, panggil saja Mas Amir ya. Hohoho,” Amir meninggalkan ruanganmu
dengan pintu tertutup dibelakangnya.
Baru saja kau
merebahkan tubuhmu di atas kursi kantor yang empuk, seseorang mengetuk pintu
dari luar. Ia meminta ijin untuk masuk. Belum sempat kau beranjak dari kursimu,
si pengetuk sudah menerobos masuk, “Maaf pak, mengganggu,” Ia memperhatikan jam
tangannya. Disodorkannya sebuah map biru, “Ini ada map pengajuan. Sudah dua
hari tertahan, soalnya nunggu pak CA (Credit
Analist). Mohon untuk dianalisa secepatnya. Terimakasih” Lalu si pengetuk
meninggalkanmu berduaan dengan map biru itu. Tapi tidak lama, karena sepuluh detik
kemudian Amir masuk membawa secangkir kopi panas, alat penyegaran. Ketika
meletakkan kopi itu, matanya sempat menangkap deretan hurup di map biru. Iapun
bersuara dengan nada terkejut, “Malahayu mas bro?”
Tiba-tiba kau
merasa lelahmu hilang dalam sekejap dan menatap Amir lekat-lekat, “Ada apa
memangnya mas dengan malahayu? Apa itu daerah black list kita?”
Amir tampaknya
bingung dengan ucapanmu.
“Maksud saya,
apakah wilayah malahayu itu orang-orangnya tidak baik untuk kita jadikan nasabah?”
kau menyederhanakan penjelasan.
“Oh, bukan,”
Amir menyanggah, “Kalau dengar tentang malahayu saya jadi inget kejadian bulan
februari 2013 kemaren.” Lanjut Amir sambil menarik keluar kursi di depan
mejamu, lalu duduk, “Tiga orang meninggal lho mas bro dan satu nggak apa-apa.”
“Oh ya?” kau
menanggapi Amir dengan serius.
“Kejadiannya di
sebuah bangunan mirip menara yang menjorok ke tengah waduk. Orang-orang Malahayu sih menyebutnya Turen. Jadi begini ceritanya mas bro. Waktu itu ada
empat orang pekerja. Katanya sih sedang memperbaiki dinding Turen yang bocor. Para
pekerja itu, untuk naik-turun di dalam Turen, pake tangga atau lift. Kan
lumayan tinggi mas bro Turen itu, sekitar 25 meteran lah. Waktu kejadian itu,
yang saya denger mas bro, satu orang sedang naik lift, sementara dua lainnya
sedang memperbaiki yang bocor di bawahnya. Eh, pas di tengah-tengah ternyata
liftnya macet dan tiba-tiba, jeplaak, putus. Si orang satu yang ada di lift, ya
langsung meluncur ke bawah mas bro. Sementara dua orang di bawahnya ya otomatis
mas bro. Ketiban. Kegencet. Mati waktu itu juga. Dan yang jatuhnya sih sempet
dirawat katanya, tapi tetep nggak ketolong. Sementara yang selamat, saya denger
sih, dia sejak awal emang udah gak niat naik lift, takut jatuh katanya.” Amir
mengakhiri cerita sambil menyeruput kopi panas yang dibawanya.
Ia meletakkan
kopi itu dan melanjutkan, “Bukan hanya itu mas bro. Waduk itu juga bisa ngedatangin
sial.” Amir menyeruput kopi lagi.
Kau melihat kopi
itu dan ada perasaan tidak rela di dalam hatimu, kaupun bergumam pelan, “Sial!”
“Iya pak bener,
sial,” Amir melanjutkan, “Buktinya teman saya sehabis dari sana langsung
ketiban si–”
“Dia mati juga?”
kau memotong ceritanya.
“– bukan mas bro. Dia
diputusin ceweknya sehabis pacaran disana. Padahal sebelumnya sudah saya
bilangin untuk tidak membawa pacar ke tempat seperti itu, nanti ketiban sial.
Sial deh dia, diputusin pacarnya.”
“Oh, saya kira…”
kau menelan ludah ketika Amir menyeruput tetesan kopi terakhir.
Melalui
cangkir yang masih menempel di bibirnya, ia melihat wajahmu dan teringat
sesuatu tentang kopi itu, “Eh,”
Malamnya, kisah
Amir masih terngiang-ngiang di telingamu. Kau pun dibuatnya tak bisa tidur.
Bukan karena takut membayangkan kisah di Turen itu, melainkan ada rasa penasaran
yang begitu besar di dalam dirimu. Sambil menunggu kantuk tiba, kau membuka
laptop dengan modem yang menancap di colokan USB. Berselancar di google. Kata pertama yang kau tuliskan adalah
‘waduk malahayu’. Begitu kau menekan ‘enter’, muncul beberapa pilihan ‘link’.
Di urutan teratas ada wikipedia. Di wikipedia kau mendapatkan gambaran singkat
tentang waduk malahayu.
Di
link-link berikutnya kau mendapati informasi yang lebih menarik. Beberapa
diantaranya mengenai tempat-tempat angker di malahayu, salah satunya adalah
Turen. Serta legenda waduk malahayu, kisah seorang puteri raja yang membasuh
wajahnya dengan air waduk agar selalu ayu (cantik).
Pagi-pagi sekali kau sudah tiba di kantor. Amir orang pertama dan
satu-satunya yang kau temui. Setelah menyapa Amir yang sedang sibuk dengan
pekerjaannya, kau bergegas menuju ruanganmu. Ada satu hal yang tidak
terpikirkan olehmu semalam, ingin kau coba saat ini juga. Kau mengeluarkan
laptop, menancapkan modem, lalu membuka aplikasi google earth. Kau memilih opsi
direction kemudian mengisi kolom from dengan kata ‘alun-alun brebes’ dan
kolom to dengan kata ‘waduk malahayu’.
Begitu kau mengklik tombol begin search
muncul beberapa keterangan diantaranya: jarak yang harus kau tempuh dari
kantormu sekitar 43,9 km, serta lama waktu yang kau butuhkan lebih kurang 1 jam
11 menit.
Akan tetapi,
bukan itu sebenarnya yang paling ingin kau coba. Kau ingin melihat Turen. Karena
itulah kau menuliskan kata ‘waduk malahayu’ di kolom fly to.
Gambar berpindah secara otomatis dan membesar. Kau terkejut ketika melihat
bentuk waduk malahayu. Awalnya kau mengira jika waduk malahayu itu memiliki
bentuk setidaknya menyerupai sebuah lingkaran atau oval.
Waduk
seluas 944 hektar itu, memiliki bentuk yang tidak karuan. Mungkin hal ini
dikarenakan, hanya sebagian kecil saja yang melibatkan tangan manusia. Sehingga
bentuknya lebih mengikuti keinginan alam. Kau melihat Turen sebagai sebuah titik
putih dengan sebuah garis lurus yang menghubungkannya ke tanggul penahan air.
Perlahan, kau menggerakkan kursor ke arah selatan, menyusuri tepian waduk. Kau
menghentikan laju kursor ketika melihat sesosok wajah perempuan yang terbentuk dari
tepian waduk. Sosok itu menghadap ke arah barat. Kau jadi tambah
bertanya-tanya. Mungkinkah sosok itu ada hubungannya dengan legenda waduk
malahayu?
Kau menghubungi
Pak Cartim, klien pertamamu. Setelah membaca secara singkat profilnya, kau baru
menyadari jika pekerjaan Pak Cartim sangat dekat sekali hubungannya dengan
waduk malahayu. Dia adalah seorang joki perahu objek wisata waduk malahayu. Kau
segera mengatur jadwal pertemuan dengannya. Melihat jam di laptopmu, kau
berkata pada laki-laki 47 tahun di ujung telepon itu, “Jam dua siang ini pak.”
Motor dinasmu
masih dalam perjalanan menuju kantor barumu. Kau menemui bos besar diruangannya
untuk meminta ijin agar Amir dibolehkan mengantarmu untuk menganalisa klien
pertamamu.
Di tengah
perjalanan, Amir terus berteriak kegirangan. Baginya bisa keluar kantor di jam
kerja adalah sesuatu yang sama menyenangkannya dengan memenangkan sebuah undian
utama. Satu hal sepele lagi yang bisa membuat orang bahagia.
Sepanjang
perjalanan, kau menyisir pemandangan secara bergantian. Terkadang kau menoleh
ke kiri untuk memperhatikan deretan toko penjual telor asin. Terkadang pula kau
menoleh ke kanan, memperhatikan kendaraan-kendaraan besar yang berjalan
berlawanan arah. Namun, ada momen sepintas yang sangat menarik perhatianmu
ketika menoleh ke arah kanan. Puluhan perahu nelayan sedang parkir di dermaga.
Dua buah perahu berisikan tiga sampai lima orang. Mereka turun membawa sebuah
kotak berisi hasil tangkapan yang dibekukan. Sementara para calon pembeli
segera menyerbu ketika kotak itu diletakkan di tanah.
“Ini daerah Kluwut,
Kecamatan Bulakamba mas bro” jawab Amir ketika kau bertanya, “Sudah sampai mana
ini?”
Sepanjang jalur
besar Pantura, Amir melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Hampir saja
kau merasa menyesal telah meminta Amir mengantarmu jika saja, Amir tidak segera
menurunkan kecepatan, lalu berbelok ke arah selatan.
Butuh dua puluh
lima menit dari jalur Pantura untuk bisa sampai ke desa malahayu, dengan
selamat. Setelah melewati pasar Kecamatan Banjarharjo, kau baru bisa merasakan
sesuatu yang alami. Andai saja berkedip
sedikit lebih lama, Kau pasti sudah mengira baru saja melewati sebuah lorong
waktu. Cepat sekali pemandangan berubah.
Setelah melewati
sebuah gapura dan jembatan besi tua, kau berhadapan dengan dua orang petugas
pintu masuk lokasi wisata waduk malahayu. Kau mengeluarkan satu lembar uang dua
ribu rupiah untuk biaya retribusi. Salah satu hal sepele yang bisa membuat
orang bahagia, murah.
Amir memarkir
motornya di bawah tangga menuju waduk malahayu. Dari arah belakang, kau
mendengar Amir menghitung anak tangga yang dinaikinya. Tidak sampai dua puluh,
Ia lupa dengan angka selanjutnya setelah kau menanyakan apa yang sedang
dilakukannya. Amir menggaruk kepalanya, kemudian Ia turun kembali menuju anak
tangga pertama. Sementara kau meneruskan pendakian anak tangga tersisa.
Setibanya di atas tanggul penahan air, kau merasa seakan sedang berada di atas
dunia. Anginnya berhembus begitu kencang. Dikelilingi bukit dan pohon jati serta
mahoni, waduk malahayu tampak seperti kolam ikan dengan berbagai hiasannya. Kau
mengarahkan pandanganmu ke arah air. Kau melihat tiga buah perahu ditambatkan
dan sebuah perahu yang sedang melaju perlahan di atas air. Salah satu pemilik
perahu yang ditambatkan mengangkat telponnya ketika kau menghubungi nomor Pak
Cartim.
“Di atas sini
pak” kau melambaikan tangan pada salah satu pemilik perahu itu. Kemudian kau
berjalan mengikuti jalan landai yang memutar ke arah selatan.
Dari dekat Pak Carim
terlihat jauh lebih tua dari umurnya. Kulitnya hitam setelah sekian lama tertempa
sinar matahari. Perawakannya tidak terlalu tinggi. Saat kau berjalan
disampingnya, kepalanya sejajar dengan pundakmu.
Pak Carim
mengajakmu duduk di sebuah kursi tembok. Pohon beringin yang berdiri di belakangnya
meneduhkan. Walau pandanganmu tak seluas ketika kau berada di atas tanggul, kau
masih bisa bukit dan pepohonan yang memenjara air waduk.
“Butuh seharian
penuh untuk bisa mengelilingi seluruh waduk malahayu.” Pak carim membuka obrolan.
Sejujurnya, itu
yang sangat ingin kau dengar.
Amir mucul
tiba-tiba dengan nafas terengah. Ia mengaku telah mencarimu kemana-mana. Ia
sangat takut jika kau hilang. Kau kan pendatang baru disini.
Pak Carim yang
mendengarnya tersenyum geli, “Jangan terlalu berlebihan mas. Waduk malahayu
tidak seseram cerita orang kok. Setiap tahunnya, banyak orang yang datang untuk
pertama kalinya, tapi toh mereka tetap bisa pulang dengan selamat.”
“Tapi kan pak?” mulutmu
memang terbuka tapi itu suara Amir.
“Ya, sama seperti
di tempat lain. Disinipun banyak kejadian mas; entah itu kecelakaan, bencana,
atau kejadian lainnya. Hal seperti itu memang wajar terjadi kan? Hanya saja
memang, karena waduk malahayu ini memiliki nilai sejarah serta banyak legenda
serta mitos yang diwariskan oleh nenek moyang terdahulu maka seperti kurang
puas rasanya jika setiap kejadian yang terjadi disini tidak dikaitkan dengan
hal-hal berbau mitos ataupun mistis. Contohnya waktu kejadian di Turen itu”
lanjut Pak Cartim sambil melongok ke arah Turen, “Sebuah kecelakaan yang bisa
terjadi dimana saja.”
Kau ingin
bertanya lebih banyak, tapi penjelasan Pak Carim telah menjawab setiap rasa
penasaranmu.
“Akan tetapi,
bukan berarti kita boleh berbuat sesukanya. Ya, namanya juga tempat asing mas,
bisa saja ada hal-hal yang tidak kita ketahui dan bisa membahayakan diri kita.
Jadi kehati-hatian tetap diperlukan. Karena itu, bapak sih selalu ingat kata
pepatah, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Intinya, selalu sopan dan
santunlah dimanapun kita berada.” Pak Carim mengakhiri pemaparannya dengan
nasehat sederhana.
Setelah
pamit, kau mengajak Amir untuk melihat Turn dari dekat. Kau tertahan di depan
pintu masuk menuju Turn, pintu pagarnya terkunci.
Memang tidak semua orang bisa sembarangan masuk ke lokasi itu. Dan untuk
kenang-kenangan kau bermaksud mengabadikan gambar dirimu yang sedang berdiri di
depan Turen.
Kau melangkah perlahan mendekati Amir yang masih
mematung. Kau mengambil kamera digital dari tangannya yang kaku. Kau melihat
hasil jeperetannya tadi. Tidak ada yang aneh, di foto itu kau melihat dirimu
sedang tersenyum ke arah kamera dengan latar belakang Turn dan sedikit air
waduk. Tapi, tunggu dulu, kau mengusap matamu beberapakali, barangkali itu
hanya debu yng mengganggu penglihatanmu. Tapi bukan, matamu baik-baik saja.
Pandanganmu menembus melewati bahumu, dibelakang turen kau bisa melihat sesosok
bayangan samar hitam yang melayang di atas air.
Agus Septian Siswandana atau dikenal dengan nama pena Agus Shahafi Nashshar adalah penulis pegiat Forum Lingkar Pena (FLP), menjadi ketua umum FLP Kuningan 2015-2017. Bisa dihubungi melalui microblog Facebook di Agus Shahafi Nashshar.
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan penuh santun.