Breaking News
Loading...
11/21/2015

Info Post

Aku menatap lekat foto keluarga berfigura emas yang menggantung di ruang tamu rumah kami. Ayah, ibu dan aku yang ketika itu masih duduk di bangku kelas 3 SD. Ayah duduk di sofa sambil memangku-ku dan ibu berdiri di belakang sofa sambil merangkulkan tangannya ke pundak ayah. Senyum kami mengembang bahagia di foto itu.
Lalu mataku menyusuri sisi lain ruang tamu, di atas meja yang  memojok dekat sofa, sebuah foto berfigura motif bunga yang ku persembahkan sebagai hadiah untuk ibu di tanggal 22 Desember ketika aku kelas 1 SMA. Ibu mengisi figura itu dengan foto kita berdua, tanpa ayah. Bukan karena kami tak ingin mengajak ayah karena ini khusus ibu dan calon ibu, tapi karena ayah sudah tidak dapat membersamai kami lagi. Ya, ayah yang merupakan pria satu-satunya di rumah yang biasa menjaga kami, menafkahi kami, menjadi sandaran bagi kami, harus memenuhi panggilan-Nya ketika aku baru saja menjalani masa orientasi studi di SMP. Dan hingga kini aku berada di tingkat tiga bangku perkuliahan, ibu yang menggantikan semua tugas ayah tersebut, tanpa meninggalkan tugas pokoknya sebagai ibu. She’s the greatest woman that I ever know.
“Hana, makan malamnya sudah siap. Bisa bantu ibu membawa makanannya ke ruang makan?”
“Iya, Bu. Sebentar,” aku bergegas menuju dapur.
Opor ayam, perkedel, dan bala-bala telah tersaji di meja makan untuk santapan malam ini. Setelah berdo’a, kami menyantapnya tanpa terburu-buru. Biasanya waktu makan malam adalah waktu kami bercerita tentang aktifitas kami seharian ini, bertukar pendapat dan mencurahkan isi hati kami. Pun begitu malam ini. Ibu memulainya terlebih dulu.
“Han, sudah lama semenjak kepergian Ayah. Tidakkah kamu merasa bahwa rumah ini begitu sepi jika hanya kita berdua yang menempati?” tak seperti biasanya, ibu terlihat sangat kikuk malam ini.
“Maksud ibu? Kenapa tiba-tiba…,” aku tak mengerti topik apa yang akan ibu bahas dengan memberi mukadimah seperti ini.
“Ibu… Ibu ingin mengenalkan seseorang kepadamu. Ibu mengenalnya saat menghadiri kajian di masjid Al-Ikhlas dua bulan lalu, beliau menjadi pembicara tamu saat itu. Beliau duda dengan satu anak, istrinya meninggal 10 tahun lalu karena kecelakaan. Oh iya, ibu dengar anaknya seumuran denganmu, kamu hanya lahir beberapa bulan lebih awal darinya.” ibu mengakhirinya dengan senyum canggung. Ah, kami menjadi begitu canggung satu sama lain.
“Ibu ingin menikah lagi?” aku ingin meyakinkan diriku sendiri, khawatir salah menangkap apa maksud ibu tadi.
Dengan anggukan kecil, ibu membuat mulutku terbuka, shock.
“Tidakkah… di umur ibu yang sekarang… ini terlalu…,” otakku masih belum bisa bekerja dengan baik untuk mensinkronkan apa yang ada di pikiranku dan apa yang keluar dari mulutku.
Ibu menggenggam tanganku yang tetiba mendingin. Ah, tangan ibu pun begitu. Ibu, pasti kau perlu menumpukkan begitu banyak keberanian untuk dapat mengungkapkan hal ini di depan anakmu ini. Tapi, kau pun tahu betapa aku mencintai ayah. Walaupun ayah sudah tidak ada, tak bisakah kau menjaga kesetiaanmu padanya? Menjaga cintamu–seperti halnya aku–layaknya ayah masih hidup di tengeh-tengah kita?
Tidak ada yang bisa membuka mulutnya lagi untuk melanjutkan percakapan ini. Tidak aku. Tidak juga ibu. Hanya air mata kami yang saling berjatuhan. Dan tangan kami yang dingin masih saling bergenggaman. Lima menit. Sepuluh menit. Aku menyerah. Aku berlari menuju kamar.
***
Setelah berpikir semalaman, aku memutuskan untuk berbicara dengan ibu pagi ini. Aku menunggunya di meja makan setelah membuat nasi goreng untuk sarapan kami. Ibu keluar dengan seragam PNS-nya. Alhamdulillah, ibu sudah diangkat menjadi PNS ketika aku masuk SMA, kemudian tiga tahun lalu ibu juga diangkat menjadi kepala sekolah di SMA 3 Karawang, tak jauh dari rumah kami di Karang Pawitan.
“Mari kita lanjutkan diskusi semalam,” kali ini aku membukanya terlebih dulu.
“Ibu, walaupun ayah sudah tidak ada, tapi aku masih mencintainya layaknya ia masih di sini bersama kita, tidak bisakah ibu melakukannya sepertiku? Walaupun ayah sudah tidak ada, tapi kita masih bisa menjalani hidup dengan bahagia berdua, kan? Kita telah melewati sembilan tahun terakhir ini tanpa ayah dan tidak ada kesulitan yang tidak dapat kita lewati, kan? Secara ekonomi kita berkecukupan, setiap hari kita bisa selalu tertawa ketika bercerita tentang hari-hari kita. Lalu apa lagi yang ingin ibu cari? Bukankah kita sudah cukup bahagia?” mata ibu berkaca. Ah, apakah kata-kataku ini begitu menyakitkan?
Aku menggenggam tangannya, “Hana hanya khawatir ibu tidak akan sebahagia ini jika ibu menikah lagi, di umur ibu yang sudah 48 tahun ini, apa kata tetangga kalau ibu akan menikah lagi? Mereka akan berpikir ibu hanya ingin mendapatkan harta atau martabat dari pria itu. Dan, Hana sudah sangat nyaman dengan hanya kita yang menjadi penghuni rumah ini, sudah 9 tahun berlalu tanpa adanya seorang pria, tentu akan menjadi sangat canggung ketika ada orang baru di rumah ini. Ibu tahu, Hana tipe orang yang sulit untuk beradaptasi. Lagi pula, ibu sudah menopause, kan?” aku mengatakan kalimat terakhir dengan sangat malu dan segera meninggalkan meja makan, keluar dari rumah, entah ke mana kakiku akan melangakah.
***
Lapangan Karang Pawitan, aku menuju pendopo bernuansa hijau yang nampak teduh. Lalu duduk sambil menyenderkan kepalaku ke tiang-tiang besar penyengganya. Aku membiarkan pikiranku berlalu-lalang bebas entah kemana, kepalaku terasa penat karenanya, dadaku juga terasa sesak, oleh karena itu, aku ingin membiarkannya bebas dulu untuk sekejap ini.
Kurasa aku hampir tertidur saat seorang anak kecil menepuk-nepuk lenganku. Ia terlihat tidak begitu ceria, sama sepertiku.
“Ada apa? Apakah kamu perlu bantuan?” aku iba melihatnya.
“Bisakah kakak mengantarku pulang? Ayah dan ibu sudah menungguku, tapi aku tidak berani pulang sendiri, banyak kendaraan yang melintas di sini,” mungkin anak ini masih kelas 1 SD, kejam juga jika aku tidak memenuhi permintaannya.
Aku pun berdiri dan menggenggam tangannya. Sepanjang jalan aku menanyainya. Dia tidak kesasar ataupun lupa alamat rumahnya, dia hanya takut pulang sendirian. Saat pergi ia bersama temannya, tapi kemudian teman-temannya pergi bermain ke tempat yang lebih jauh lagi dan ia tidak ingin ikut, ia hanya ingin pulang ke rumahnya. Namanya Fatimah, panggilannya Ima. Seperti yang sudah kuduga, ia masih duduk di kelas 1 SD. Tapi aku tak mengenal nama sekolahnya, SDIT An-Nuur. Setahuku di Karawang tidak ada nama SDIT seperti yang ia sebutkan. Mungkin wawasanku tentang Karawang tidak begitu luas, atau mungkin anak ini yang salah menghapal nama sekolahnya.
“Itu rumahku!” Ima menunjuk sebuah rumah bergaya jawa yang hampir seluruh bahan bangunannya adalah kayu. Aku pun baru tahu jika di Kawarang ada rumah seunik ini.
“Ayo masuk, kak!” gadis kecil itu menarik tanganku. Aku pun tak bisa menolaknya.
Ayah dan Ibu Ima sedang minum teh ditemani getuk lindri dan bakpia kacang ijo ketika kami berdua masuk.
“Assalamu’alaikum,” aku dan Ima mengucap salam.
“Wa’alaikumsalam,” jawab ayah dan ibu Ima serempak. Mereka terlihat sedikit terkejut ketika Ima pulang bukan dengan teman sebayanya. Aku kemudian memperkenalkan diri dan menceritakan pertemuanku dengan Ima. Mereka tersenyum mendengar penjelasanku, berterimakasih sekaligus memohon maaf karena anaknya sudah merepotkanku.
“Sebagai gantinya, mari kami ajak adik berkeliling masjid Plosokuning!” ayah Ima menawarkan.
“Masjid Plosokuning? Saya tidak pernah mendengar nama masjid itu di Karawang,” lagi-lagi, wawasanku tentang Karawang benar-benar memalukan. Aisssh..
“Ya iya, mbok ya ndak ada masjid Plosokuning di Karawang, tapi adanya di Sleman!” ibu Ima menjelaskan sambil menahan tawa.
“Heh, apa? Sleman? Sleman, Yogyakarta?” bagaimana bisa? Aku hanya berjalan kaki ke sini, tidak sampai 10 menit pun. Aku melihat sekeliling rumah ini. Memang begitu kuno. Bahkan mereka masih memajang kalender tahun 1999! Apakah mereka memang kolektor barang-barang kuno?
“Iya, ayo kita jalan-jalan!” Ima lagi-lagi menarik tanganku, padahal belum habis keherananku tentang anomali ini.
”Nah, kita sekarang ini ada di Masjid Plosokuning, Desa Plosokuning, Kecamatan Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Masjid bersejarah ini merupakan peninggalan Sultan Hamengkubuwono III yang dibangun sekitar tahun 1723 – 1819. Nama Plosokuning sendiri di ambil dari nama sebuah pohon ploso yang mempunyai daun berwarna kuning yang terdapat di sebelah timur masjid. Disebelah barat masjid ini terdapat komplek makam, salah satunya adalah makam Kyai Mursodo sebagai cikal bakal Dusun Plosokuning ini. Oh iya, penduduk di sekitar masjid ini hanya boleh ditempati oleh anak cucu dari Kyai Mursodo, daerah ini disebut daerah mutihan atau Plosokuning Jero, sedangkan daerah yang agak jauh dari masjid disebut dengan Plosokuning Jaba atau Plosokuning luar. Kebetulan, keluarga kami masih merupakan anak cucu dari Kyai Mursodo, jadi kami tinggal di Plosokuning Jero,” ayah Ima menjelaskan dengan seksama, layaknya guru sejarah di SMA-ku dulu.
Karena sudah sampai di sini, aku memutuskan untuk tidak membuang kesempatan untuk melihat-lihat masjid bersejarah ini, meskipun akal sehatku masih tak bisa mencerna apa yang terjadi di sini. Perhatianku terhenti di sebuah pohon berukuran raksasa yang terdapat di halaman masjid, penasaran, aku bertanya pada ayah Ima.
“Ini pohon apa, pak? Terlihat sudah sangat tua,” ucapku sok tahu.
“Iya, usia pohon ini memang sudah ratusan tahun. Ini pohon sawo kecik. Sawo kecik dimaksudkan sarwo becik atau serba baik, karena bahwasanya masjid adalah untuk kegiatan yang baik-baik dan tentu saja akan mendatangkan kebaikan pula.”
“Ooh..” aku mengangguk-angguk mendengar pemaparan ayah Ima.
Mataku perlahan menyapu Masjid Plosokuning ini tanpa ingin melewatkan tiap detailnya. Masjid ini memiliki bagunan utama dengan bentuk atap tumpang satu dan serambi dengan bentuk atap limasan. Sekeliling masjid ini dilingkari kolam, kita harus melewati kolam ini sebelum masuk ke masjid, jadi selain untuk memelihara ikan, kolam ini juga berfungsi untuk menyucikan tiap orang yang ingin masuk ke Masjid Plosokuning.
Masuk ke dalam masjid, terdapat mimbar tua yang terbuat dari kayu jati dengan ornamen yang indah pada pegangan mimbar. Mimbar ini juga dilengkapi dengan sebuah tongkat, Ayah Ima menjelaskan, tongkat itu akan dipakai oleh khatib pada saat memberikan khotbah. Ia melanjutkan, bahwa masjid ini juga masih menganut adat lama di mana azan pada saat salat Jum’at dilakukan dua kali. Dahulu, sekitar tahun 1950 adzan pertama dilakukan oleh lima orang sekaligus dan adzan kedua dilakukan oleh salah seorang dari mereka, khotbah juga dilakukan dengan bahasa arab. Tapi sekitar tahun 1960 muadzin yang semula berjumlah lima orang diubah menjadi hanya dua orang dan khotbah dilakukan dengan bahasa jawa.
“Kalau di Karawang, beberapa masjid khutbahnya pakai bahasa sunda, pak,”
“Iya, khutbah bisa dilakukan dengan bahasa keseharian yang dipakai di daerah tersebut. Mbok ndak mungkin kan kalau di Inggris atau Jepang sana khutbahnya pakai bahasa sunda atau jawa, ora mudeng nanti mereka!” kami tertawa mendengar penuturan ayah Ima.
“Islam itu sebenarnya mudah dan tidak pernah memberatkan. Segala yang diatur oleh Allah sudah menjadi sebaik-baik treatment bagi fitrah kita sebagai manusia, karena Dia yang menciptakan kita. Bagi Sang Pencipta, tentu dia tahu betul mana yang baik dan mana yang buruk untuk yang diciptakannya. Oleh karena itu, kita harus masuk dalam Islam secara kaffah atau menyeluruh, tidak hanya soal ibadah, tapi juga dalam berpakaian, makan dan minum, muamalah, berumah tangga, berteman, semuanya sudah diatur oleh Islam dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist.”
“Bapak ini guru agama ya?” aku menebak-nebak.
“Ah, bukan. Bapak cuma pengusaha batik kecil-kecilan. Oh iya, bapak lupa kalau ada distributor yang ingin ke rumah siang ini untuk ngambil batik. Sudah selesai kan lihat-lihatnya? Mari kita ke pulang.”
Kami pun menyusuri lagi jalan setapak menuju rumah keluarga Ima, tidak sampai 3 menit dari Masjid Plosokuning. Sebelum pulang, ibu Ima memberiku sebuah rok batik cantik berwarna biru muda dan hilma memberikan jilbab bergo lebar warna serupa.
“Rambut cantik ini untuk suami kakak saja nanti yang boleh lihat ya!” egoku tersentil. Betapa bodohnya, bahkan Ima yang masih kelas 1 SD saja tahu bahwa sebagai seorang muslimah yang sudah baligh, aku wajib menutup auratku. Aku memeluk Ima dengan erat sebelum benar-benar pergi.
***
“Hana, ayo bangun! Kenapa tidur di sini?!” suara ibu membangunkanku.
Aku membuka mata, lalu melihat sekitar. Hah, aku tertidur di pendopo lapangan Karang Pawitan? Sudah seberapa lama? Aku melihat jam tanganku. 10.20, hampir dua jam? Aku bangun sambil menahan malu. Orang-orang di sekitar melihatku heran, bagaimana bisa seorang gadis? Aaah.. benar-benar memalukan.
“Teh, ini rok sama jilbabnya ketinggalan,” seorang ibu lari mengejarku.
“Eh, ini punya saya?”
“Iya, tadi teteh tidur sambil terus megang rok sama jilbab ini.”
Aku menerimanya. Rok batik dan jilbab bergo biru muda. Ini pemberian Ima dan ibunya. Bagaimana bisa? Bukankah tadi hanya mimpi? Tidak mungkin hanya dalam 2 jam ini aku bisa ke Masjid Plosokuning di Sleman. Tapi bukti rok dan jilbab ini sekarang ada di genggamanku. Bagaimana bisa?
“Hey, ayo jangan melamun. Kita sedang ditunggu,” ibu merangkulku yang masih terlihat setengah sadar.
***
“Ini Om Hasan yang ibu ceritakan malam kemarin. Dan ini anaknya, Fatimah.”
Wajah mereka tak asing lagi bagiku. Rasanya aku pernah melihat mereka di suatu tempat, belum lama ini. Ah… mereka seperti Ima dan ayahnya. Hanya saja Ima sudah bukan gadis kecil lagi, ia sama tinggi denganku. Ayahnya juga sudah banyak beruban, meski wajahnya tidak begitu banyak berubah.
“Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” rasa penasaranku tak terbendung lagi.
“Rasanya tidak pernah, kami baru pertama kali ini ke Karawang, Mungkin kakak pernah bertemu kami di Sleman?” Fatimah balik bertanya.
“Sleman? Kalian dari Sleman? Apakah rumah kalian di Plosokuning Jero dekat Masjid Plosokuning?”
“Iya, bagaimana dek Hana tahu? Ibu pernah cerita sebelumnya, ya?” Om Hasan menerka.
“Tidak, saya belum memberitahu Hana tentang tempat tinggal Mas.”
“Lalu? Rok batik yang kamu pegang itu juga sepertinya berlabel Batik Harum, itu batik produksi kami,” aku melihat merk rok batik yang kupegang, sama persis seperti yang Om Hasan sebutkan.
“Begitukah?” aku tersenyum menutupi keabnormalan ini.
“Fatimah, apakah kamu dulu bersekolah di SDIT An-Nuur?” aku perlu meyakinkan diriku lagi.
“Iya. kakak menyewa detektif ya untuk mematai-matai kami? Jangan-jangan kakak juga tahu kalau sekarang aku kuliah di UGM?”
“Hahaha, tidak sampai separah itu sih, hanya…” aku tidak dapat menyelesaikan kalimat itu.
***
Aku keluar dari kamarku dengan mengenakan rok batik dan jilbab biru pemberian Ima dan ibunya, menuju ruang makan di mana ibu, Fatimah dan Om Hasan sudah menunggu. Mereka terlihat terkejut sekaligus bahagia melihatku dengan pakaian syar’i ini. Ibu sudah lama mengenakan pakaian syar’i, pun menyuruhku mengikuti jejaknya, tapi hatiku belum tergugah saat itu.
“Kamu terlihat begitu cantik dengan pakaian seperti ini, sayang,” pujian ibu membuatku memerah.
“Ibu juga, begitu berseri malam ini. Jadi, sudah ditentukan tanggal pernikahannya?”
“Kamu setuju?” ibu bertanya balik.
“Tentu, siapa yang bisa menolak ayah sebaik Om Hasan dan adik sebaik Fatimah?”
Ibu memelukku bahagia. “Maafin Hana ya, Bu. Semalam dan tadi pagi Hana tidak berpikir panjang. Padahal Hana belum tahu bagaimana calon ibu tapi sudah bilang tidak setuju. Mmm, anggap saja itu semua cuma acting ya, hehe.”
***
Ayah, ayah tahu kan tidak akan ada yang bisa menggantikan posisi ayah di hati kami? Jangan cemburu pada Ayah Hasan, dia pria yang baik, dia pasti bisa menjaga dan membimbing keluarga kami. Ada Fatimah pun, kini Hana tidak akan lagi kesepian di rumah, Hana bahkan berbagi kamar dengan Ima. Syukurlah, sekarang ada yang mengantar Hana ke kamar mandi jika tengah malam, Ima lebih pemberani dibanding Hana. Ayah, semoga kita bisa berkumpul lagi di taman surga-Nya nanti. Hana rindu ayah <3
With Love,
Your Daughter.
Setelah menuliskannya di selembar kertas, aku melipatnya hingga berbentuk perahu. Lalu menghanyutkannya di drainase depan rumah. Menatapnya hingga menjadi satu titik di kejauhan.
“Sedang apa, Hana?” Ayah Hasan baru saja pulang selesai shalat isya berjama’ah di masjid Al-Jihad dekat rumah.
“Main kapal-kapalan,” Ia tertawa mendengar jawabanku.
“Jika diingat, kamu begitu mirip dengan seorang gadis yang mengantarkan Fatimah pulang saat ia masih SD, beberapa belas tahun lalu. Fatimah mungkin tidak akan mengingatnya karena dia masih kecil waktu itu.”
“Begitukah? Muka Hana pasaran kali, hehe..”
“Yang jelas gadis itu tidak mungkin kamu, karena jika beberapa belas tahun lalu gadis itu seumurmu, tentunya dia sudah berumur sekitar 35-an sekarang, kan?”
“Hmm… ayo masuk ke dalam, Ayah! Ibu dan Fatimah sudah menyiapkan capcay kesukaan Ayah untuk makan malam kita,” kami pun masuk tanpa memperpanjang obrolan lagi.
***
Aku tidak pernah menceritakan perjalanan waktuku kepada siapapun. Aku tahu, tidak akan seorang pun yang akan mempercayaiku. Bahkan, setelah cerita panjangku yang berhalaman-halaman ini, kau pun tidak akan mempercayaiku kan? Ya sudahlah, biarkan aku saja yang akan mempercayainya. Tapi yang jelas, lewat perjalanan waktu itu aku menemukan begitu banyak pelajaran berarti; mengerti dan memaknai, agamaku dan keluargaku.

Riana Yahya, pegiat Forum Lingkar Pena (FLP), anggota FLP cabang Karawang. Cerpen The Time Traveler dimuat dalam antologi FLP Ilusi Malahayu.

0 komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan penuh santun.