Aku menatap lekat foto keluarga berfigura emas yang menggantung di ruang tamu rumah kami. Ayah, ibu dan aku yang ketika itu masih duduk di bangku kelas 3 SD. Ayah duduk di sofa sambil memangku-ku dan ibu berdiri di belakang sofa sambil merangkulkan tangannya ke pundak ayah. Senyum kami mengembang bahagia di foto itu.
Lalu
mataku menyusuri sisi lain ruang tamu, di atas meja yang memojok dekat sofa, sebuah foto berfigura
motif bunga yang ku persembahkan sebagai hadiah untuk ibu di tanggal 22
Desember ketika aku kelas 1 SMA. Ibu mengisi figura itu dengan foto kita
berdua, tanpa ayah. Bukan karena kami tak ingin mengajak ayah karena ini khusus
ibu dan calon ibu, tapi karena ayah sudah tidak dapat membersamai kami lagi.
Ya, ayah yang merupakan pria satu-satunya di rumah yang biasa menjaga kami,
menafkahi kami, menjadi sandaran bagi kami, harus memenuhi panggilan-Nya ketika
aku baru saja menjalani masa orientasi studi di SMP. Dan hingga kini aku berada
di tingkat tiga bangku perkuliahan, ibu yang menggantikan semua tugas ayah
tersebut, tanpa meninggalkan tugas pokoknya sebagai ibu. She’s the greatest woman that I ever know.
“Hana,
makan malamnya sudah siap. Bisa bantu ibu membawa makanannya ke ruang makan?”
“Iya,
Bu. Sebentar,” aku bergegas menuju dapur.
Opor
ayam, perkedel, dan bala-bala telah tersaji di meja makan untuk santapan malam
ini. Setelah berdo’a, kami menyantapnya tanpa terburu-buru. Biasanya waktu
makan malam adalah waktu kami bercerita tentang aktifitas kami seharian ini,
bertukar pendapat dan mencurahkan isi hati kami. Pun begitu malam ini. Ibu
memulainya terlebih dulu.
“Han,
sudah lama semenjak kepergian Ayah. Tidakkah kamu merasa bahwa rumah ini begitu
sepi jika hanya kita berdua yang menempati?” tak seperti biasanya, ibu terlihat
sangat kikuk malam ini.
“Maksud
ibu? Kenapa tiba-tiba…,” aku tak mengerti topik apa yang akan ibu bahas dengan
memberi mukadimah seperti ini.
“Ibu…
Ibu ingin mengenalkan seseorang kepadamu. Ibu mengenalnya saat menghadiri
kajian di masjid Al-Ikhlas dua bulan lalu, beliau menjadi pembicara tamu saat
itu. Beliau duda dengan satu anak, istrinya meninggal 10 tahun lalu karena
kecelakaan. Oh iya, ibu dengar anaknya seumuran denganmu, kamu hanya lahir
beberapa bulan lebih awal darinya.” ibu mengakhirinya dengan senyum canggung.
Ah, kami menjadi begitu canggung satu sama lain.
“Ibu
ingin menikah lagi?” aku ingin meyakinkan diriku sendiri, khawatir salah
menangkap apa maksud ibu tadi.
Dengan
anggukan kecil, ibu membuat mulutku terbuka, shock.
“Tidakkah…
di umur ibu yang sekarang… ini terlalu…,” otakku masih belum bisa bekerja
dengan baik untuk mensinkronkan apa yang ada di pikiranku dan apa yang keluar
dari mulutku.
Ibu
menggenggam tanganku yang tetiba mendingin. Ah, tangan ibu pun begitu. Ibu,
pasti kau perlu menumpukkan begitu banyak keberanian untuk dapat mengungkapkan
hal ini di depan anakmu ini. Tapi, kau pun tahu betapa aku mencintai ayah.
Walaupun ayah sudah tidak ada, tak bisakah kau menjaga kesetiaanmu padanya?
Menjaga cintamu–seperti halnya aku–layaknya ayah masih hidup di tengeh-tengah
kita?
Tidak
ada yang bisa membuka mulutnya lagi untuk melanjutkan percakapan ini. Tidak
aku. Tidak juga ibu. Hanya air mata kami yang saling berjatuhan. Dan tangan
kami yang dingin masih saling bergenggaman. Lima menit. Sepuluh menit. Aku
menyerah. Aku berlari menuju kamar.
***
Setelah
berpikir semalaman, aku memutuskan untuk berbicara dengan ibu pagi ini. Aku
menunggunya di meja makan setelah membuat nasi goreng untuk sarapan kami. Ibu
keluar dengan seragam PNS-nya. Alhamdulillah, ibu sudah diangkat menjadi PNS ketika
aku masuk SMA, kemudian tiga tahun lalu ibu juga diangkat menjadi kepala
sekolah di SMA 3 Karawang, tak jauh dari rumah kami di Karang Pawitan.
“Mari
kita lanjutkan diskusi semalam,” kali ini aku membukanya terlebih dulu.
“Ibu,
walaupun ayah sudah tidak ada, tapi aku masih mencintainya layaknya ia masih di
sini bersama kita, tidak bisakah ibu melakukannya sepertiku? Walaupun ayah
sudah tidak ada, tapi kita masih bisa menjalani hidup dengan bahagia berdua,
kan? Kita telah melewati sembilan tahun terakhir ini tanpa ayah dan tidak ada
kesulitan yang tidak dapat kita lewati, kan? Secara ekonomi kita berkecukupan,
setiap hari kita bisa selalu tertawa ketika bercerita tentang hari-hari kita.
Lalu apa lagi yang ingin ibu cari? Bukankah kita sudah cukup bahagia?” mata ibu
berkaca. Ah, apakah kata-kataku ini begitu menyakitkan?
Aku
menggenggam tangannya, “Hana hanya khawatir ibu tidak akan sebahagia ini jika
ibu menikah lagi, di umur ibu yang sudah 48 tahun ini, apa kata tetangga kalau
ibu akan menikah lagi? Mereka akan berpikir ibu hanya ingin mendapatkan harta
atau martabat dari pria itu. Dan, Hana sudah sangat nyaman dengan hanya kita
yang menjadi penghuni rumah ini, sudah 9 tahun berlalu tanpa adanya seorang
pria, tentu akan menjadi sangat canggung ketika ada orang baru di rumah ini. Ibu
tahu, Hana tipe orang yang sulit untuk beradaptasi. Lagi pula, ibu sudah
menopause, kan?” aku mengatakan kalimat terakhir dengan sangat malu dan segera
meninggalkan meja makan, keluar dari rumah, entah ke mana kakiku akan
melangakah.
***
Lapangan
Karang Pawitan, aku menuju pendopo bernuansa hijau yang nampak teduh. Lalu duduk
sambil menyenderkan kepalaku ke tiang-tiang besar penyengganya. Aku membiarkan
pikiranku berlalu-lalang bebas entah kemana, kepalaku terasa penat karenanya,
dadaku juga terasa sesak, oleh karena itu, aku ingin membiarkannya bebas dulu
untuk sekejap ini.
Kurasa
aku hampir tertidur saat seorang anak kecil menepuk-nepuk lenganku. Ia terlihat
tidak begitu ceria, sama sepertiku.
“Ada
apa? Apakah kamu perlu bantuan?” aku iba melihatnya.
“Bisakah
kakak mengantarku pulang? Ayah dan ibu sudah menungguku, tapi aku tidak berani
pulang sendiri, banyak kendaraan yang melintas di sini,” mungkin anak ini masih
kelas 1 SD, kejam juga jika aku tidak memenuhi permintaannya.
Aku
pun berdiri dan menggenggam tangannya. Sepanjang jalan aku menanyainya. Dia
tidak kesasar ataupun lupa alamat rumahnya, dia hanya takut pulang sendirian.
Saat pergi ia bersama temannya, tapi kemudian teman-temannya pergi bermain ke
tempat yang lebih jauh lagi dan ia tidak ingin ikut, ia hanya ingin pulang ke
rumahnya. Namanya Fatimah, panggilannya Ima. Seperti yang sudah kuduga, ia
masih duduk di kelas 1 SD. Tapi aku tak mengenal nama sekolahnya, SDIT An-Nuur.
Setahuku di Karawang tidak ada nama SDIT seperti yang ia sebutkan. Mungkin
wawasanku tentang Karawang tidak begitu luas, atau mungkin anak ini yang salah
menghapal nama sekolahnya.
“Itu
rumahku!” Ima menunjuk sebuah rumah bergaya jawa yang hampir seluruh bahan bangunannya
adalah kayu. Aku pun baru tahu jika di Kawarang ada rumah seunik ini.
“Ayo
masuk, kak!” gadis kecil itu menarik tanganku. Aku pun tak bisa menolaknya.
Ayah
dan Ibu Ima sedang minum teh ditemani getuk lindri dan bakpia kacang ijo ketika
kami berdua masuk.
“Assalamu’alaikum,”
aku dan Ima mengucap salam.
“Wa’alaikumsalam,”
jawab ayah dan ibu Ima serempak. Mereka terlihat sedikit terkejut ketika Ima
pulang bukan dengan teman sebayanya. Aku kemudian memperkenalkan diri dan
menceritakan pertemuanku dengan Ima. Mereka tersenyum mendengar penjelasanku,
berterimakasih sekaligus memohon maaf karena anaknya sudah merepotkanku.
“Sebagai
gantinya, mari kami ajak adik berkeliling masjid Plosokuning!” ayah Ima
menawarkan.
“Masjid
Plosokuning? Saya tidak pernah mendengar nama masjid itu di Karawang,”
lagi-lagi, wawasanku tentang Karawang benar-benar memalukan. Aisssh..
“Ya
iya, mbok ya ndak ada masjid
Plosokuning di Karawang, tapi adanya di Sleman!” ibu Ima menjelaskan sambil
menahan tawa.
“Heh,
apa? Sleman? Sleman, Yogyakarta?” bagaimana bisa? Aku hanya berjalan kaki ke
sini, tidak sampai 10 menit pun. Aku melihat sekeliling rumah ini. Memang
begitu kuno. Bahkan mereka masih memajang kalender tahun 1999! Apakah mereka
memang kolektor barang-barang kuno?
“Iya,
ayo kita jalan-jalan!” Ima lagi-lagi menarik tanganku, padahal belum habis
keherananku tentang anomali ini.
”Nah, kita sekarang ini ada di Masjid
Plosokuning, Desa Plosokuning, Kecamatan Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Masjid
bersejarah ini merupakan peninggalan Sultan Hamengkubuwono III yang dibangun
sekitar tahun 1723 – 1819. Nama Plosokuning sendiri di ambil dari nama sebuah
pohon ploso yang mempunyai daun berwarna kuning yang terdapat di sebelah timur
masjid. Disebelah barat masjid ini terdapat komplek makam, salah satunya adalah
makam Kyai Mursodo sebagai cikal bakal Dusun Plosokuning ini. Oh iya, penduduk
di sekitar masjid ini hanya boleh ditempati oleh anak cucu dari Kyai Mursodo,
daerah ini disebut daerah mutihan atau Plosokuning Jero, sedangkan daerah yang
agak jauh dari masjid disebut dengan Plosokuning Jaba atau Plosokuning luar.
Kebetulan, keluarga kami masih merupakan anak cucu dari Kyai Mursodo, jadi kami
tinggal di Plosokuning Jero,” ayah Ima menjelaskan dengan seksama, layaknya
guru sejarah di SMA-ku dulu.
Karena sudah sampai di sini, aku
memutuskan untuk tidak membuang kesempatan untuk melihat-lihat masjid
bersejarah ini, meskipun akal sehatku masih tak bisa mencerna apa yang terjadi
di sini. Perhatianku terhenti di sebuah pohon berukuran raksasa yang terdapat
di halaman masjid, penasaran, aku bertanya pada ayah Ima.
“Ini pohon apa, pak? Terlihat sudah
sangat tua,” ucapku sok tahu.
“Iya, usia pohon ini memang sudah
ratusan tahun. Ini pohon sawo kecik. Sawo kecik dimaksudkan sarwo becik atau
serba baik, karena bahwasanya masjid adalah untuk kegiatan yang baik-baik dan
tentu saja akan mendatangkan kebaikan pula.”
“Ooh..” aku mengangguk-angguk
mendengar pemaparan ayah Ima.
Mataku perlahan menyapu Masjid Plosokuning ini tanpa ingin melewatkan tiap
detailnya. Masjid ini memiliki bagunan utama dengan bentuk atap tumpang satu
dan serambi dengan bentuk atap limasan. Sekeliling masjid ini dilingkari kolam,
kita harus melewati kolam ini sebelum masuk ke masjid, jadi selain untuk
memelihara ikan, kolam ini juga berfungsi untuk menyucikan tiap orang yang
ingin masuk ke Masjid Plosokuning.
Masuk ke dalam masjid, terdapat mimbar tua yang terbuat dari kayu
jati dengan ornamen yang indah pada pegangan mimbar. Mimbar ini juga dilengkapi
dengan sebuah tongkat, Ayah Ima menjelaskan, tongkat itu akan dipakai oleh
khatib pada saat memberikan khotbah. Ia melanjutkan, bahwa masjid ini juga
masih menganut adat lama di mana azan pada saat salat Jum’at dilakukan dua
kali. Dahulu, sekitar tahun 1950 adzan pertama dilakukan oleh lima orang
sekaligus dan adzan kedua dilakukan oleh salah seorang dari mereka, khotbah
juga dilakukan dengan bahasa arab. Tapi sekitar tahun 1960 muadzin yang semula
berjumlah lima orang diubah menjadi hanya dua orang dan khotbah dilakukan
dengan bahasa jawa.
“Kalau di Karawang, beberapa masjid
khutbahnya pakai bahasa sunda, pak,”
“Iya, khutbah bisa dilakukan dengan
bahasa keseharian yang dipakai di daerah tersebut. Mbok ndak mungkin kan kalau
di Inggris atau Jepang sana khutbahnya pakai bahasa sunda atau jawa, ora mudeng nanti mereka!” kami tertawa
mendengar penuturan ayah Ima.
“Islam itu sebenarnya mudah dan tidak
pernah memberatkan. Segala yang diatur oleh Allah sudah menjadi sebaik-baik treatment bagi fitrah kita sebagai
manusia, karena Dia yang menciptakan kita. Bagi Sang Pencipta, tentu dia tahu
betul mana yang baik dan mana yang buruk untuk yang diciptakannya. Oleh karena
itu, kita harus masuk dalam Islam secara kaffah
atau menyeluruh, tidak hanya soal ibadah, tapi juga dalam berpakaian, makan dan
minum, muamalah, berumah tangga,
berteman, semuanya sudah diatur oleh Islam dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist.”
“Bapak ini guru agama ya?” aku
menebak-nebak.
“Ah, bukan. Bapak cuma pengusaha batik
kecil-kecilan. Oh iya, bapak lupa kalau ada distributor yang ingin ke rumah
siang ini untuk ngambil batik. Sudah selesai kan lihat-lihatnya? Mari kita ke
pulang.”
Kami pun menyusuri lagi jalan setapak
menuju rumah keluarga Ima, tidak sampai 3 menit dari Masjid Plosokuning. Sebelum
pulang, ibu Ima memberiku sebuah rok batik cantik berwarna biru muda dan hilma
memberikan jilbab bergo lebar warna serupa.
“Rambut cantik ini untuk suami kakak
saja nanti yang boleh lihat ya!” egoku tersentil. Betapa bodohnya, bahkan Ima
yang masih kelas 1 SD saja tahu bahwa sebagai seorang muslimah yang sudah
baligh, aku wajib menutup auratku. Aku memeluk Ima dengan erat sebelum
benar-benar pergi.
***
“Hana,
ayo bangun! Kenapa tidur di sini?!” suara ibu membangunkanku.
Aku
membuka mata, lalu melihat sekitar. Hah, aku tertidur di pendopo lapangan
Karang Pawitan? Sudah seberapa lama? Aku melihat jam tanganku. 10.20, hampir
dua jam? Aku bangun sambil menahan malu. Orang-orang di sekitar melihatku
heran, bagaimana bisa seorang gadis? Aaah.. benar-benar memalukan.
“Teh,
ini rok sama jilbabnya ketinggalan,” seorang ibu lari mengejarku.
“Eh,
ini punya saya?”
“Iya,
tadi teteh tidur sambil terus megang rok sama jilbab ini.”
Aku
menerimanya. Rok batik dan jilbab bergo biru muda. Ini pemberian Ima dan
ibunya. Bagaimana bisa? Bukankah tadi hanya mimpi? Tidak mungkin hanya dalam 2
jam ini aku bisa ke Masjid Plosokuning di Sleman. Tapi bukti rok dan jilbab ini
sekarang ada di genggamanku. Bagaimana bisa?
“Hey,
ayo jangan melamun. Kita sedang ditunggu,” ibu merangkulku yang masih terlihat
setengah sadar.
***
“Ini
Om Hasan yang ibu ceritakan malam kemarin. Dan ini anaknya, Fatimah.”
Wajah
mereka tak asing lagi bagiku. Rasanya aku pernah melihat mereka di suatu
tempat, belum lama ini. Ah… mereka seperti Ima dan ayahnya. Hanya saja Ima
sudah bukan gadis kecil lagi, ia sama tinggi denganku. Ayahnya juga sudah
banyak beruban, meski wajahnya tidak begitu banyak berubah.
“Apakah
kita pernah bertemu sebelumnya?” rasa penasaranku tak terbendung lagi.
“Rasanya
tidak pernah, kami baru pertama kali ini ke Karawang, Mungkin kakak pernah
bertemu kami di Sleman?” Fatimah balik bertanya.
“Sleman?
Kalian dari Sleman? Apakah rumah kalian di Plosokuning Jero dekat Masjid
Plosokuning?”
“Iya,
bagaimana dek Hana tahu? Ibu pernah cerita sebelumnya, ya?” Om Hasan menerka.
“Tidak,
saya belum memberitahu Hana tentang tempat tinggal Mas.”
“Lalu?
Rok batik yang kamu pegang itu juga sepertinya berlabel Batik Harum, itu batik
produksi kami,” aku melihat merk rok batik yang kupegang, sama persis seperti
yang Om Hasan sebutkan.
“Begitukah?”
aku tersenyum menutupi keabnormalan ini.
“Fatimah,
apakah kamu dulu bersekolah di SDIT An-Nuur?” aku perlu meyakinkan diriku lagi.
“Iya.
kakak menyewa detektif ya untuk mematai-matai kami? Jangan-jangan kakak juga
tahu kalau sekarang aku kuliah di UGM?”
“Hahaha,
tidak sampai separah itu sih, hanya…” aku tidak dapat menyelesaikan kalimat
itu.
***
Aku
keluar dari kamarku dengan mengenakan rok batik dan jilbab biru pemberian Ima
dan ibunya, menuju ruang makan di mana ibu, Fatimah dan Om Hasan sudah
menunggu. Mereka terlihat terkejut sekaligus bahagia melihatku dengan pakaian
syar’i ini. Ibu sudah lama mengenakan pakaian syar’i, pun menyuruhku mengikuti
jejaknya, tapi hatiku belum tergugah saat itu.
“Kamu
terlihat begitu cantik dengan pakaian seperti ini, sayang,” pujian ibu
membuatku memerah.
“Ibu
juga, begitu berseri malam ini. Jadi, sudah ditentukan tanggal pernikahannya?”
“Kamu
setuju?” ibu bertanya balik.
“Tentu,
siapa yang bisa menolak ayah sebaik Om Hasan dan adik sebaik Fatimah?”
Ibu
memelukku bahagia. “Maafin Hana ya, Bu. Semalam dan tadi pagi Hana tidak
berpikir panjang. Padahal Hana belum tahu bagaimana calon ibu tapi sudah bilang
tidak setuju. Mmm, anggap saja itu semua cuma acting ya, hehe.”
***
Ayah,
ayah tahu kan tidak akan ada yang bisa menggantikan posisi ayah di hati kami? Jangan
cemburu pada Ayah Hasan, dia pria yang baik, dia pasti bisa menjaga dan
membimbing keluarga kami. Ada Fatimah pun, kini Hana tidak akan lagi kesepian
di rumah, Hana bahkan berbagi kamar dengan Ima. Syukurlah, sekarang ada yang
mengantar Hana ke kamar mandi jika tengah malam, Ima lebih pemberani dibanding Hana.
Ayah, semoga kita bisa berkumpul lagi di taman surga-Nya nanti. Hana rindu ayah
<3
With Love,
Your Daughter.
Setelah
menuliskannya di selembar kertas, aku melipatnya hingga berbentuk perahu. Lalu
menghanyutkannya di drainase depan rumah. Menatapnya hingga menjadi satu titik
di kejauhan.
“Sedang
apa, Hana?” Ayah Hasan baru saja pulang selesai shalat isya berjama’ah di
masjid Al-Jihad dekat rumah.
“Main
kapal-kapalan,” Ia tertawa mendengar jawabanku.
“Jika
diingat, kamu begitu mirip dengan seorang gadis yang mengantarkan Fatimah
pulang saat ia masih SD, beberapa belas tahun lalu. Fatimah mungkin tidak akan
mengingatnya karena dia masih kecil waktu itu.”
“Begitukah?
Muka Hana pasaran kali, hehe..”
“Yang
jelas gadis itu tidak mungkin kamu, karena jika beberapa belas tahun lalu gadis
itu seumurmu, tentunya dia sudah berumur sekitar 35-an sekarang, kan?”
“Hmm…
ayo masuk ke dalam, Ayah! Ibu dan Fatimah sudah menyiapkan capcay kesukaan Ayah
untuk makan malam kita,” kami pun masuk tanpa memperpanjang obrolan lagi.
***
Aku
tidak pernah menceritakan perjalanan waktuku kepada siapapun. Aku tahu, tidak
akan seorang pun yang akan mempercayaiku. Bahkan, setelah cerita panjangku yang
berhalaman-halaman ini, kau pun tidak akan mempercayaiku kan? Ya sudahlah,
biarkan aku saja yang akan mempercayainya. Tapi yang jelas, lewat perjalanan
waktu itu aku menemukan begitu banyak pelajaran berarti; mengerti dan memaknai,
agamaku dan keluargaku.
Riana Yahya, pegiat Forum Lingkar Pena (FLP),
anggota FLP cabang Karawang. Cerpen The Time Traveler dimuat dalam antologi FLP Ilusi Malahayu.
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan penuh santun.