Breaking News
Loading...
11/14/2015

Info Post

Setiap sore, di antara keramaian kampung Bojong itu, seorang lelaki berusia senja duduk khusyuk menghidmati kampungnya. Di pangkuannya seekor kucing terlelap tidur. Dari mulut lelaki itu bersenandunglah shalawat dan pepujian.

Punten..,” sore ini Mang Karta, rekan mengaji sang lelaki tua melintasi rumahnya. Mang Karta baru saja pulang menjenguk ladang jagung yang mulai panen.

Ngasuh, Pak haji?” lanjutnya ramah.

Muhun, Mang.” Balas lelaki itu. Tak lain, yang dimaksud “mengasuh” adalah mengurus kucing-kucing. Warga Bojong sudah mengenal lelaki itu, Haji Mpud, sebagai  “bapak kucing-kucing”. Sedikit pun Haji Mpud tidak keberatan dengan julukan itu. Mirip julukan sahabat Nabi, Abu Hurairoh, katanya.

Terdapat empat anak kucing dan satu induk kucing di rumah Haji Mpud. Anak-anak Haji Mpudlah yang menamai anak-anak kucing itu. Masing-masing anak menamai satu kucing. Si sulung menamai kucing oranye bermata bulat itu Ciko, lengkapnya Cikopi. Tentu karena si Sulung suka minum kopi. Kucing oranye lain, yang berbulu lebat, dinamai Jabrig oleh putra kedua. Putra ketiganya menamai kucing berbulu putih itu Maceuh, sebab kucing putih itu sangat lincah. Lalu, kucing terakhir dinamai Manis oleh putri bungsunya. Lain dengan empat anak kucing itu, kucing betina yang merupakan induk kucing-kucing itu diberi nama yang sederhana oleh mendiang isterinya, Mpus saja.

Keberadaan kucing-kucing itu telah mengisi kehidupan renta Haji Mpud. Saat rapat DKM dilaksanakan di rumahnya, para tetua kampung sudah fasih tahu cara membahagiakan sang tuan rumah: memuji kucing-kucing Haji Mpud. Ketika mengisi ceramah pun ia sering menyelipkan kisah Nabi Muhammad yang amat menyayangi kucing.

“Kanjeng Nabi begitu mencintai kucing. Nabi rela merobek sebagian kain sorban yang hendak dipakainya karena tengah ditiduri sang kucing.” Begitu katanya.

          Sore ini sebelum Haji Mpud pergi ke masjid, ia dikejutkan oleh telepon dari putri bungsunya, Rahma. Ia terkejut sekaligus gembira sebab sudah lama anak-anaknya tak menelepon apalagi berkunjung ke rumahnya. Keempat anak Haji Mpud sudah sukses di kota. Mereka pun sudah berkeluarga. Sulung sudah jadi direktur, putra kedua jadi editor surat kabar  kota, putra ketiga sedang melanjutkan kuliah S2 di luar negeri, dan Rahma berwirausaha sambil ikut suaminya yang lulusan pertambangan itu ke luar kota. Telepon Rahma sore itu jelas begitu ia nantikan.

“Bapa, Rahma…mau pulang!” suara anaknya di ujung telepon terdengar parau. Kata-katanya terbata dan terasa berat. Ia yakin anaknya sedang menghadapi masalah besar hingga harus menelepon sambil menangis tersedu begitu. Haji Mpud gamang. Bukan kesedihan yang ia nantikan tiba bersama Rahma. Tapi apa bisa dikata, putrinya sedang berduka dan sedang butuh berada di samping sang ayah. Maka malam itu, Rahma sudah tiba di rumah Haji Mpud dengan berlinang air mata. Ia menceritakan kesedihannya kepada sang ayah. Ia sering cek-cok dengan suaminya. Selidik punya selidik, hal ini terjadi karena mereka belum juga dianugerahi keturunan. Konon, Rahma terjangkit toxoplasma. Malam itu, berkali-kali Rahma mengutuk orang tuanya yang memelihara kucing. Menurutnya, itulah penyebab keretakan rumah tangga Rahma. Berkali-kali pula Haji Mpud membesarkan hati Rahma bahwa semua adalah kehendak Yang Mahakuasa. Ujian semata. Sedikit mencuri pandang, ia melihat mata bulat Mpus di balik pintu dapur yang sedikit terbuka. Mata Mpus seakan sayu dan layu.

Esok paginya, Rahma meminta anak-anak kucing ayahnya dibuang saja. Ia khawatir akan kesehatan sang ayah. Menurutnya, batuk parah ayahnya –yang belum juga sembuh sejak Rahma menikah—adalah karena alergi bulu kucing. Rahma melihat rumah ayahnya berantakan. Di mana-mana penuh bulu kucing. Itu pulalah alasan ia mesti menyingkirkan anak-anak kucing itu dari ayahnya. Haji Mpud tak persis tahu alasan Rahma sebenarnya. Batuk yang dideritanya memang telah lama bersarang di tubuhnya bahkan sebelum ia memelihara kucing. Seingatnya, ia pun sama sekali tak punya alergi. Tapi dalam hal ini, ia mengalah. Rahma melakukan hal itu karena menyayangi dirinya. Putrinya khawatir akan kesehatannya. Begitu saja pikirnya.

“Induk kucing yang itu adalah kesayangan almarhumah ibumu, Rahma,” Haji Mpud menunjuk induk kucing berwarna oranye pudar di hadapannya, “biarkan dia saja yang tetap Bapa pelihara. Bapa masih ingin memelihara kenangan tentang ibumu lewat kucing itu.” Pinta Haji Mpud. Rahma memenuhi pinta ayahnya. Ia membiarkan induk kucing itu tetap dipelihara. Sementara itu, empat anak kucing lainnya dibuang. Sebenarnya bukan dibuang, melainkan dialihtangankan kepada Mang Karta. Rumahnya sudah lama diganggu tikus, ia sangat butuh kucing.

Sepulang dari rumah Mang Karta, lama sekali Haji Mpud mengamati mobil mewah warna merah yang melaju di kejauhan. Di kampung ini tak ada warga yang mempunyai mobil. Maka kedatangan mobil merah itu adalah pemandangan mencolok, langka dan mengejutkan. Haji Mpud kian terkejut saat mobil merah itu tetiba berhenti di depan rumahnya.

“Assalamualaikum, Bapa. Saya mau jemput Rahma,” ah, itu Riza, menantunya yang bekerja di perusahaan tambang itu ternyata sekarang sudah bermobil. Haji Mpud mempersilakannya masuk. Setelah cukup istirahat, ia berbincang dengan kedua putranya itu. Ia ingin meluruskan kerumitan hati keduanya.

“Setiap penyakit, ada obatnya. Yang Bapa tahu, penyakit susah hamil semacam itu ada obatnya. Bisa disembuhkan” tutur Haji Mpud di awal pembicaraan.

“Artinya, kalian yang tidak sabar dalam ikhtiar. Tidak lekas percaya dengan penyembuhan Allah.” Lanjutnya.

Keduanya beralasan sudah jengah dengan gunjingan orang-orang karena mereka belum juga punya anak. Begitu sering orang-orang sekitar bertanya dan seakan menyindir, katanya. Mendengar itu, Haji Mpud menarik napas. Anak dan menantunya masih saja bersitahan dengan alasannya. Mereka mulai saling menyalahkan. Riza menyalahkan Rahma dan penyakitnya, Rahma menyalahkan Riza dan sikap tak dewasanya, terakhir Rahma menyalahkan Haji Mpud dan kucing-kucingnya termasuk Mpus yang masih saja dipertahankan.

“Istigfar, Nak. Kalian sedang menuhankan pandangan manusia, bukan Gusti Allah!” Rahma dan Riza terhentak. Keduanya lama terdiam lalu saling berpandangan.

“Mengapa kalian tidak meneladani ketabahan Ibrahim? Berapa puluh tahun ia menantikan kelahiran Ismail?” pungkas Haji Mpud. Kini, kedua putranya tertunduk lesu dengan wajah layu. Selepas perbincangan itu, kedua putranya saling minta maaf. Rahma kembali sesegukan. Mereka tak lupa sungkem kepada Haji Mpud. Senyum lebar merekah di bibir Haji Mpud. Kedua putranya kini kembali menemukan kedamaian. Tak begitu lama dari perbincangan itu, Rahma dan Riza pamit pulang. Masih banyak urusan di kota, katanya. Haji Mpud melepas mereka berdua dengan doa-doa dan restu yang teramat tulus. Sejauh ini, Haji Mpud merasa sangat bahagia. Kedatangan mereka berdua sudah ibarat oase atas kerinduannya. Namun, masih saja tersisa satu pertanyaan di benak Haji Mpud.Apakah setelah ini, kau masih akan jarang menjenguk Bapa seperti kakak-kakakmu itu, Rahma?.   

Haji Mpud tak boleh larut lama-lama dalam kesyahduan semacam itu. Pikirnya, ia masih punya Mpus, kucing betina kesayangan almarhumah isterinya. Baginya itu sudah cukup mendamaikan gemuruh di jiwanya. Ia memandang Mpus yang sedari tadi meringkuk nyaman di kursi teras kini mulai menggeliat. Dari jauh terdengar suara berat kucing jantan. Musim kawin bagi kucing sudah tiba. Haji Mpud mengelus kucing kesayangannya itu.

“Kau mau menemui si jantan, Mpus? Pergilah. Beranak lagi yang banyak supaya aku ada yang menemani.” Ujarnya. Benar saja, Mpus segera lari menuju suara sang kucing jantan di ujung jalan.

Hidup akan berjalan seperti yang sudah-sudah bagi Haji Mpud. Sore ini pun, ia harus mengisi ceramah di masjid. Maka selesai mandi dan berpakaian, ia bergegas menuju masjid.

“Pak haji!” dua orang bocah lelaki berlari terburu-buru ke arah Haji Mpud sesaat setelah ia menutup pintu rumah.

“Si Mpus, Pak haji…kageleng[i] di jalan. Di belokan jalan.” ujar bocah berkaos biru.

“Yang benar?” Haji Mpud kaget.

“Iya, kageleng mobil.” Lanjut bocah itu.

“Mobilnya teh bagus, warna merah. Gak tahu mobil siapa.” Bocah yang satu lagi turut menambahkan.

Haji Mpud terdiam dan menarik napas dalam. Ingatannya menerawang pada mobil berwarna serupa yang baru saja parkir di depan rumahnya. Ia mengelus dadanya yang tak lagi bidang. Ia mengelus nasibnya sendiri: sebuah kekosongan baru yang akan segera hadir di hari senjanya. Kenangan demi kenangan seperti mendesak-desak jantungnya. Bayangan empat anaknya dan mendiang isterinya berkelebatan silih berganti. Masing-masing seperti kian jauh meninggalkan Haji Mpud. Perlahan-lahan ia makin kuat mencengkeram dada kirinya. Ia merasa dadanya berat dan napasnya menjadi begitu sesak.


(Bandung, 2013)

Nurul Maria Sisilia. Bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Bandung. Gemar menulis cerpen, sajak, dan esai. Saat ini sedang menggemari bacaan-bacaan tentang pemikiran. Cerpen Kematian Mpus dimuat dalam Antologi Cerpen FLP 'Ilusi Malahayu'



[i] Terlindas, tergilas (Sunda)

0 komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan penuh santun.