Setiap
sore, di antara keramaian kampung Bojong itu, seorang lelaki berusia senja
duduk khusyuk menghidmati kampungnya. Di pangkuannya seekor kucing terlelap
tidur. Dari mulut lelaki itu bersenandunglah shalawat dan pepujian.
“Punten..,” sore ini Mang Karta, rekan
mengaji sang lelaki tua melintasi rumahnya. Mang Karta baru saja pulang
menjenguk ladang jagung yang mulai panen.
“Ngasuh, Pak haji?” lanjutnya ramah.
“Muhun, Mang.” Balas lelaki itu. Tak
lain, yang dimaksud “mengasuh” adalah mengurus kucing-kucing. Warga Bojong
sudah mengenal lelaki itu, Haji Mpud, sebagai
“bapak kucing-kucing”. Sedikit pun Haji Mpud tidak keberatan dengan
julukan itu. Mirip julukan sahabat Nabi, Abu Hurairoh, katanya.
Terdapat
empat anak kucing dan satu induk kucing di rumah Haji Mpud. Anak-anak Haji
Mpudlah yang menamai anak-anak kucing itu. Masing-masing anak menamai satu
kucing. Si sulung menamai kucing oranye bermata bulat itu Ciko, lengkapnya
Cikopi. Tentu karena si Sulung suka minum kopi. Kucing oranye lain, yang berbulu
lebat, dinamai Jabrig oleh putra kedua. Putra ketiganya menamai kucing berbulu
putih itu Maceuh, sebab kucing putih itu sangat lincah. Lalu, kucing terakhir
dinamai Manis oleh putri bungsunya. Lain dengan empat anak kucing itu, kucing
betina yang merupakan induk kucing-kucing itu diberi nama yang sederhana oleh
mendiang isterinya, Mpus saja.
Keberadaan
kucing-kucing itu telah mengisi kehidupan renta Haji Mpud. Saat rapat DKM
dilaksanakan di rumahnya, para tetua kampung sudah fasih tahu cara membahagiakan
sang tuan rumah: memuji kucing-kucing Haji Mpud. Ketika mengisi ceramah pun ia
sering menyelipkan kisah Nabi Muhammad yang amat menyayangi kucing.
“Kanjeng
Nabi begitu mencintai kucing. Nabi rela merobek sebagian kain sorban yang
hendak dipakainya karena tengah ditiduri sang kucing.” Begitu katanya.
Sore ini sebelum Haji Mpud pergi ke masjid, ia dikejutkan
oleh telepon dari putri bungsunya, Rahma. Ia terkejut sekaligus gembira sebab
sudah lama anak-anaknya tak menelepon apalagi berkunjung ke rumahnya. Keempat
anak Haji Mpud sudah sukses di kota. Mereka pun sudah berkeluarga. Sulung sudah
jadi direktur, putra kedua jadi editor surat kabar kota, putra ketiga sedang melanjutkan kuliah S2
di luar negeri, dan Rahma berwirausaha sambil ikut suaminya yang lulusan
pertambangan itu ke luar kota. Telepon Rahma sore itu jelas begitu ia nantikan.
“Bapa,
Rahma…mau pulang!” suara anaknya di ujung telepon terdengar parau. Kata-katanya
terbata dan terasa berat. Ia yakin anaknya sedang menghadapi masalah besar
hingga harus menelepon sambil menangis tersedu begitu. Haji Mpud gamang. Bukan
kesedihan yang ia nantikan tiba bersama Rahma. Tapi apa bisa dikata, putrinya
sedang berduka dan sedang butuh berada di samping sang ayah. Maka malam itu, Rahma
sudah tiba di rumah Haji Mpud dengan berlinang air mata. Ia menceritakan
kesedihannya kepada sang ayah. Ia sering cek-cok dengan suaminya. Selidik punya
selidik, hal ini terjadi karena mereka belum juga dianugerahi keturunan. Konon,
Rahma terjangkit toxoplasma. Malam itu, berkali-kali Rahma mengutuk orang
tuanya yang memelihara kucing. Menurutnya, itulah penyebab keretakan rumah
tangga Rahma. Berkali-kali pula Haji Mpud membesarkan hati Rahma bahwa semua
adalah kehendak Yang Mahakuasa. Ujian semata. Sedikit mencuri pandang, ia
melihat mata bulat Mpus di balik pintu dapur yang sedikit terbuka. Mata Mpus
seakan sayu dan layu.
Esok
paginya, Rahma meminta anak-anak kucing ayahnya dibuang saja. Ia khawatir akan
kesehatan sang ayah. Menurutnya, batuk parah ayahnya –yang belum juga sembuh
sejak Rahma menikah—adalah karena alergi bulu kucing. Rahma melihat rumah
ayahnya berantakan. Di mana-mana penuh bulu kucing. Itu pulalah alasan ia mesti
menyingkirkan anak-anak kucing itu dari ayahnya. Haji Mpud tak persis tahu
alasan Rahma sebenarnya. Batuk yang dideritanya memang telah lama bersarang di
tubuhnya bahkan sebelum ia memelihara kucing. Seingatnya, ia pun sama sekali
tak punya alergi. Tapi dalam hal ini, ia mengalah. Rahma melakukan hal itu
karena menyayangi dirinya. Putrinya khawatir akan kesehatannya. Begitu saja
pikirnya.
“Induk
kucing yang itu adalah kesayangan almarhumah ibumu, Rahma,” Haji Mpud menunjuk
induk kucing berwarna oranye pudar di hadapannya, “biarkan dia saja yang tetap
Bapa pelihara. Bapa masih ingin memelihara kenangan tentang ibumu lewat kucing
itu.” Pinta Haji Mpud. Rahma memenuhi pinta ayahnya. Ia membiarkan induk kucing
itu tetap dipelihara. Sementara itu, empat anak kucing lainnya dibuang.
Sebenarnya bukan dibuang, melainkan dialihtangankan kepada Mang Karta. Rumahnya
sudah lama diganggu tikus, ia sangat butuh kucing.
Sepulang
dari rumah Mang Karta, lama sekali Haji Mpud mengamati mobil mewah warna merah
yang melaju di kejauhan. Di kampung ini tak ada warga yang mempunyai mobil.
Maka kedatangan mobil merah itu adalah pemandangan mencolok, langka dan
mengejutkan. Haji Mpud kian terkejut saat mobil merah itu tetiba berhenti di
depan rumahnya.
“Assalamualaikum,
Bapa. Saya mau jemput Rahma,” ah, itu Riza, menantunya yang bekerja di
perusahaan tambang itu ternyata sekarang sudah bermobil. Haji Mpud
mempersilakannya masuk. Setelah cukup istirahat, ia berbincang dengan kedua
putranya itu. Ia ingin meluruskan kerumitan hati keduanya.
“Setiap
penyakit, ada obatnya. Yang Bapa tahu, penyakit susah hamil semacam itu ada
obatnya. Bisa disembuhkan” tutur Haji Mpud di awal pembicaraan.
“Artinya,
kalian yang tidak sabar dalam ikhtiar. Tidak lekas percaya dengan penyembuhan
Allah.” Lanjutnya.
Keduanya beralasan sudah
jengah dengan gunjingan orang-orang karena mereka belum juga punya anak. Begitu
sering orang-orang sekitar bertanya dan seakan menyindir, katanya. Mendengar
itu, Haji Mpud menarik napas. Anak dan menantunya masih saja bersitahan dengan
alasannya. Mereka mulai saling menyalahkan. Riza menyalahkan Rahma dan
penyakitnya, Rahma menyalahkan Riza dan sikap tak dewasanya, terakhir Rahma
menyalahkan Haji Mpud dan kucing-kucingnya termasuk Mpus yang masih saja
dipertahankan.
“Istigfar,
Nak. Kalian sedang menuhankan pandangan manusia, bukan Gusti Allah!” Rahma dan
Riza terhentak. Keduanya lama terdiam lalu saling berpandangan.
“Mengapa
kalian tidak meneladani ketabahan Ibrahim? Berapa puluh tahun ia menantikan
kelahiran Ismail?” pungkas Haji Mpud. Kini, kedua putranya tertunduk lesu
dengan wajah layu. Selepas perbincangan itu, kedua putranya saling minta maaf.
Rahma kembali sesegukan. Mereka tak lupa sungkem kepada Haji Mpud. Senyum lebar
merekah di bibir Haji Mpud. Kedua putranya kini kembali menemukan kedamaian.
Tak begitu lama dari perbincangan itu, Rahma dan Riza pamit pulang. Masih
banyak urusan di kota, katanya. Haji Mpud melepas mereka berdua dengan doa-doa
dan restu yang teramat tulus. Sejauh ini, Haji Mpud merasa sangat bahagia.
Kedatangan mereka berdua sudah ibarat oase atas kerinduannya. Namun, masih saja
tersisa satu pertanyaan di benak Haji Mpud.Apakah
setelah ini, kau masih akan jarang menjenguk Bapa seperti kakak-kakakmu itu,
Rahma?.
Haji Mpud tak boleh larut
lama-lama dalam kesyahduan semacam itu. Pikirnya, ia masih punya Mpus, kucing
betina kesayangan almarhumah isterinya. Baginya itu sudah cukup mendamaikan
gemuruh di jiwanya. Ia memandang Mpus yang sedari tadi meringkuk nyaman di
kursi teras kini mulai menggeliat. Dari jauh terdengar suara berat kucing
jantan. Musim kawin bagi kucing sudah tiba. Haji Mpud mengelus kucing
kesayangannya itu.
“Kau
mau menemui si jantan, Mpus? Pergilah. Beranak lagi yang banyak supaya aku ada
yang menemani.” Ujarnya. Benar saja, Mpus segera lari menuju suara sang kucing
jantan di ujung jalan.
Hidup
akan berjalan seperti yang sudah-sudah bagi Haji Mpud. Sore ini pun, ia harus
mengisi ceramah di masjid. Maka selesai mandi dan berpakaian, ia bergegas
menuju masjid.
“Pak
haji!” dua orang bocah lelaki berlari terburu-buru ke arah Haji Mpud sesaat
setelah ia menutup pintu rumah.
“Si
Mpus, Pak haji…kageleng[i]
di jalan. Di belokan jalan.” ujar bocah berkaos biru.
“Yang
benar?” Haji Mpud kaget.
“Iya,
kageleng mobil.” Lanjut bocah itu.
“Mobilnya
teh bagus, warna merah. Gak tahu
mobil siapa.” Bocah yang satu lagi turut menambahkan.
Haji
Mpud terdiam dan menarik napas dalam. Ingatannya menerawang pada mobil berwarna
serupa yang baru saja parkir di depan rumahnya. Ia mengelus dadanya yang tak
lagi bidang. Ia mengelus nasibnya sendiri: sebuah kekosongan baru yang akan
segera hadir di hari senjanya. Kenangan demi kenangan seperti mendesak-desak
jantungnya. Bayangan empat anaknya dan mendiang isterinya berkelebatan silih
berganti. Masing-masing seperti kian jauh meninggalkan Haji Mpud. Perlahan-lahan
ia makin kuat mencengkeram dada kirinya. Ia merasa dadanya berat dan napasnya menjadi
begitu sesak.
(Bandung, 2013)
Nurul Maria
Sisilia. Bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Bandung. Gemar menulis cerpen,
sajak, dan esai. Saat ini sedang menggemari bacaan-bacaan tentang pemikiran. Cerpen Kematian Mpus dimuat dalam Antologi Cerpen FLP 'Ilusi Malahayu'
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan penuh santun.