Breaking News
Loading...
11/06/2015

Info Post


Tahun ini Forum Lingkar Pena (FLP) berusia 18 tahun. Kalau kita ibaratkan sebagai sebuah perjalanan, 18 tahun bukanlah perjalanan singkat bagi sebuah komunitas. Meski bukan juga sebuah perjalanan panjang. Namun, dalam konteks berkomunitas, yang terpenting bukanlah anggapan tentang singkat atau panjangnya sebuah perjalanan. Karena ujung perjalanannya memang tidak pernah ditentukan. Yang terpenting adalah memastikan:
Seberapa lama komunitas ini bisa terus berjalan?

Sejarah selalu berulang, begitu kata pepatah. Karena sejarah selalu berulang, maka kita boleh percaya bahwa FLP bisa menambah bilangan tahun perjalanannya. Logikanya, ketika FLP bisa menempuh perjalanan setahun, dua tahun, tiga tahun, hingga 18 tahun, maka FLP juga bisa terus menambah bilangan perjalanannya menjadi 19 tahun, 20 tahun, 50 tahun, dan seterusnya. Syaratnya adalah komunitas ini harus bisa terus mengulang sejarahnya.

Tentang sejarah berdirinya FLP, sudah banyak orang yang tahu. Yang selalu dikenang adalah tentang bertemunya segelintir mahasiswa di sebuah masjid kampus. Lalu mereka berkumpul lagi dan lagi, hingga kemudian bersepakat membentuk sebuah komunitas yang dinamakan FLP.

Yang harus diulang tentu bukan sejarah berupa kejadian tersebut. Tidak perlu kita meminta Helvy Tiana Rosa dan kawan-kawannya berkumpul lagi di Masjid Ukhuwah Islamiyah, Universitas Indonesia. Tidak, tidak perlu. Karena waktu bergulir, zaman berubah, dan kecantikan mereka juga sudah berubah. Maksud saya, bisa jadi saat ini mereka tambah cantik.

Yang perlu kita ulang adalah sesuatu yang melatarbelakangi pertemuan mereka. Apakah “sesuatu” itu? Kegelisahan! Ya, kegelisahan. Masing-masing dari mereka merasa gelisah ketika menyadari kebutuhan masyarakat berupa bacaan bermutu masih belum terpenuhi.

Sejarah kegelisahan inilah yang harus terus diulang oleh orang per orang. Kegelisahan inilah yang membuat seseorang bergerak. Kegelisahan macam inilah yang membuat seseorang bisa bersabar untuk terus berproses mematangkan kecakapannya dalam membaca dan menulis.

Karena merasa gelisah sendirian itu tidak enak, maka perlu kiranya kita bertemu dengan orang-orang yang memiliki kegelisahan serupa. Mulanya memang soal enak atau tidak enak. Karena tidak enak merasa tidak enak sendirian, maka kita berusaha mencari teman. Entah untuk berbagi kegelisahan, entah untuk merayakannya.

Bayangkan, betapa asyiknya ketika orang-orang gelisah ini berkumpul. Wadah yang dipenuhi oleh orang-orang gelisah seperti ini tentu akan menghadirkan suasana yang hidup dan penuh dinamika. Orang-orang gelisah ini akan membuat pertemuan menjadi penuh gairah.

Tapi, orang-orang gelisah itu tidak boleh terlena dalam keramaian. Mereka tidak boleh mabuk dalam keriuhan. Jangan sampai juga mereka kehilangan kegelisahan, karena itulah modal yang membuat mereka bisa menikmati kebersamaan.

Mereka harus menjaga kesadaran untuk bisa kembali ke sudut sunyi, tempat mereka menempa diri dalam berkarya. Karena karya hanya tercipta lewat sentuhan personal. Paling tidak, begitu pada mulanya.

Nah, selamat merasa gelisah. Selamat berkomunitas. Selamat mempertahankan kegelisahan!


Ketua FLP Jawa Barat 2013-2015


5 komentar:

Berkomentarlah dengan penuh santun.