Tahun ini Forum Lingkar Pena (FLP)
berusia 18 tahun. Kalau kita ibaratkan sebagai sebuah perjalanan, 18 tahun
bukanlah perjalanan singkat bagi sebuah komunitas. Meski bukan juga sebuah
perjalanan panjang. Namun, dalam konteks berkomunitas, yang terpenting bukanlah
anggapan tentang singkat atau panjangnya sebuah perjalanan. Karena ujung
perjalanannya memang tidak pernah ditentukan. Yang terpenting adalah
memastikan:
Seberapa
lama komunitas ini bisa terus berjalan?
Sejarah selalu berulang, begitu kata
pepatah. Karena sejarah selalu berulang, maka kita boleh percaya bahwa FLP bisa
menambah bilangan tahun perjalanannya. Logikanya, ketika FLP bisa menempuh
perjalanan setahun, dua tahun, tiga tahun, hingga 18 tahun, maka FLP juga bisa
terus menambah bilangan perjalanannya menjadi 19 tahun, 20 tahun, 50 tahun, dan
seterusnya. Syaratnya adalah komunitas ini harus bisa terus mengulang
sejarahnya.
Tentang sejarah berdirinya FLP, sudah
banyak orang yang tahu. Yang selalu dikenang adalah tentang bertemunya
segelintir mahasiswa di sebuah masjid kampus. Lalu mereka berkumpul lagi dan
lagi, hingga kemudian bersepakat membentuk sebuah komunitas yang dinamakan FLP.
Yang harus diulang tentu bukan sejarah
berupa kejadian tersebut. Tidak perlu kita meminta Helvy Tiana Rosa dan kawan-kawannya
berkumpul lagi di Masjid Ukhuwah Islamiyah, Universitas Indonesia. Tidak, tidak
perlu. Karena waktu bergulir, zaman berubah, dan kecantikan mereka juga sudah
berubah. Maksud saya, bisa jadi saat ini mereka tambah cantik.
Yang perlu kita ulang adalah sesuatu
yang melatarbelakangi pertemuan mereka. Apakah “sesuatu” itu? Kegelisahan! Ya, kegelisahan.
Masing-masing dari mereka merasa gelisah ketika menyadari kebutuhan masyarakat
berupa bacaan bermutu masih belum terpenuhi.
Sejarah kegelisahan inilah yang harus
terus diulang oleh orang per orang. Kegelisahan inilah yang membuat seseorang
bergerak. Kegelisahan macam inilah yang membuat seseorang bisa bersabar untuk
terus berproses mematangkan kecakapannya dalam membaca dan menulis.
Karena merasa gelisah sendirian itu
tidak enak, maka perlu kiranya kita bertemu dengan orang-orang yang memiliki
kegelisahan serupa. Mulanya memang soal enak atau tidak enak. Karena tidak enak
merasa tidak enak sendirian, maka kita berusaha mencari teman. Entah untuk berbagi
kegelisahan, entah untuk merayakannya.
Bayangkan, betapa asyiknya ketika
orang-orang gelisah ini berkumpul. Wadah
yang dipenuhi oleh orang-orang gelisah seperti ini tentu akan menghadirkan
suasana yang hidup dan penuh dinamika. Orang-orang gelisah ini akan membuat
pertemuan menjadi penuh gairah.
Tapi, orang-orang gelisah itu tidak
boleh terlena dalam keramaian. Mereka tidak boleh mabuk dalam keriuhan. Jangan
sampai juga mereka kehilangan kegelisahan, karena itulah modal yang membuat
mereka bisa menikmati kebersamaan.
Mereka harus menjaga kesadaran untuk
bisa kembali ke sudut sunyi, tempat mereka menempa diri dalam berkarya. Karena
karya hanya tercipta lewat sentuhan personal. Paling tidak, begitu pada
mulanya.
Nah, selamat merasa gelisah. Selamat berkomunitas.
Selamat mempertahankan kegelisahan!
Ketua FLP Jawa Barat 2013-2015
(b)
BalasHapus18 tahun, lagi puber dong...
Ah ya.. :v
HapusTernyata usia kita selisih satu tahu, FLP... hehehe
BalasHapusLebih tua atau lebih muda? :D
Hapusaku satu tahun lebih muda dari FLP juga loh.. #plakk
BalasHapus