Breaking News
Loading...
11/11/2015

Info Post


Anatomi buku

Penulis: SJ. Munkian
Penerbit: Mahaka Publishing (Imprint Republika Penerbit)
ISBN: 978-6029-476-060
Tahun terbit: 2015
Cetakan ke: 1 (Satu)
Tebal buku: 181 halaman
Ukuran buku: 13.5 x 20.5 cm


Novel Maneken ini dihiasi testimoni dari beberapa orang terkenal, seperti musisi Noe Letto, novelis Sinta Yudisia dan Tasaro GK. Melihat deskripsi sampul belakang, pembaca (selanjutnya diganti dengan frasa, ‘saya’) disuguhi sebuah rasa penasaran yang akut:

Novel ini akan membuka mata hatimu dengan menempatkanmu pada posisi benda mati yang tidak dihiraukan, meski sedang berjuang mati-matian untuk mencapai mimpi-mimpi.

SJ. Munkian adalah salah satu anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Sumedang sekaligus alumnus Universitas Padjadjaran. Maneken adalah novel pertama yang diterbitkan dari Aji (Begitu selanjutnya saya akan menyebut –sebagai ungkapan kakak kepada seorang adik).

Novel ini memang berkisah dengan sudut pandang aku benda mati berupa maneken –sebuah boneka pajangan yang biasa ditampilkan di setiap toko yang dikenakan busana tertentu. Maneken yang dianalogikan memiliki perasaan manusiawi sebagaimana manusia pada umumnya.

Cerita ini bermula pada suatu musim semi di sana (hal 12). Maneken mengambil latar tempat di Inggris (hal. 15) di sebuah toko fashion bernama Medilon Shakespeare milik Sophie Claudia Fleur. Sophie mengambil alih toko ini dari saudara tirinya bernama Vince yang dinilainya tidak berbakat mengelola toko.

‘Medilon Shakespeare baru saja kuambil alih dari Vince itu. ya ampun Tuan Sinclair, kalau boleh aku mencurahkan isi hati, Vince itu kurang berbakat mengelola toko. Kadang kupikir apa mungkin saudaraku –meski saudara tiri- bisa sepayah itu. jadi pada akhirnya, dia memintaku untuk mengelolanya. Ah, itu memang sudah kuduga dan sudah sepantasnya. (Hal. 55)

Ada dua maneken utama di Medilon Shakespeare. Maneken perempuan bernama Claudia dan maneken lelaki (yang baru datang kemudian) bernama Fereli yang dijuluki Sophie sebagai tus es tres un valeur pour moi yang artinya kau berharga sekali bagiku (hal. 17). Sebuah julukan yang memiliki arti tersendiri bagi Sophie.

Dari bab demi bab, cerita begitu mengalir sederhana dan mudah dimengerti. Seakan-akan kita adalah benda mati itu sendiri. Benda mati yang ditiupkan ruh sehingga memiliki nalar.

Dibalik kisah romansanya ada banyak hal-hal lain yang juga menarik untuk ditafsirkan, dimaknakan. Ini adalah petikan romansa yang saya sukai dari Maneken, yaitu ketika Claudia meluahkan isi hatinya:

Selama ini rongga-rongga kepekaanku terhalang awang-awang. Aku terlalu angkuh dan tidak melihat secara sederhana pada diri sendiri dan sekitar. Ada sesosok maneken yang hadir. Ada di dalam satu etalase yang sama. Di sebelahku. Ada di sisiku. Dia muncul tanpa kuduga, dengan peran maneken yang tak kusangka. Dia pribadi yang baru kusadari: tidak keras kepala, mau mendengarkan, bisa mengalah, punya kesabaran, dan tidak menggebu-gebu sepertiku. Ia berwawasan dan sanggup bersikap dewasa, tidak sepertiku, namun terkadang juga lucu dan menjengkelkan. Bahkan baru kusadari, dia tampan juga. Tentu saja.

Kudapati diriku berdegup. Aku merasakan tubuhku hangat sekaligus berdesir. Napasku jadi aneh. (hal. 52)

Bisa dibayangkan, coba bila ada satu kesempatan mampir di toko baju, menatap para maneken itu, lalu rasakan bahwa para maneken itu meluahkan perasaannya tentang cinta, apa yang terjadi?

Tetapi betul, ada banyak hal di luar romansa yang coba dibangun Aji yang juga menarik untuk dikuak.

Dari Aji, kita bisa belajar mendeskripsikan suatu tempat dengan sudut pandang dan ruang yang sangat terbatas. Tetapi sekaligus ada sesuatu yang ironis juga (yang membuat saya pun bertanya ‘dari mana?’)

‘Dari mana?’ di sini tertaut pada narasi ini:

Saat kertas tersibak, terkuaklah pemandangan di luar. Bukan panorama padang hijau yang terpampang –sebab kutahu ini di kota- melainkan jalanan dan jejeran bangunan bisu yang bising oleh aktivitas manusia. (hal. 8)

Iya, dari mana Claudia tahu bahwa dirinya ada di kota? Siapa yang membisikinya? Sedangkan Claudia selama ini tertutup tirai yang memisahkannya dari dunia dalam dan dunia luar. Itu pula yang membuat saya bertanya tentang narasi Claudia tentang Capulatte Café sedangkan dia masih tertutup tirai. Sebelum diluncurkan. Terkesan menggugat? Ah, abaikan saja, tidak mengapa.

Tetapi, Aji bagus sekali dalam meramu keterbatasan Claudia (sebagai sebuah boneka maneken) mengilustrasikan pemandangan yang ada dihadapannya. Ya dihadapannya saja, sebab dia tidak bisa berpaling sesuka hati.

Bacalah bagian ini sebagai contoh:

Panorama di depan etalase utama; sebuah lapak jalan yang tak begitu luas pun tak begitu sempit. Proporsional. Baik warna, tekstur, maupun arsiran jalan tidak terlihat hitam, tegas, dan kaku sebagaimana kepribadian jalan beraspal..

Ataupun ini:

Hal lain yang dipamerkan etalase bagian ini adalah deretan kursi dan meja kecil yang menyebar mengisi pandanganku di seberang jalan.

Keduanya ada di halaman 8 juga. Perhatikan frasa, ‘di depan’ dan ‘di seberang jalan’. Itu kunci yang dipakai Aji demi melogiskan ilustrasi tempat yang coba dinarasikan oleh Claudia. Bagus!

Tetapi maneken tetaplah benda ‘yang memiliki’ rasa bosan. Sebagaimana manusia yang bisa bosan melihat sesuatu secara berlama-lama, begitupun maneken.

Aku tidak bahagia dengan tirai menjuntai yang tertutup karena menjadikanku tak bisa meneruskan kegiatan melihat panorama di depan toko dan memaksaku untuk memperhatikan gambaran sau warna yang sama lekat-lekat seharian penuh. (hal. 10)

Di sini, Aji berupaya keras sekali –dan menurut saya berhasil- meletakkan dasar-dasar filosofis yang melekat dalam diri maneken. Lihatlah, gagasan yang dituangkannya lewat perantara Fereli:

Ada beberapa hal yang terjadi pada kita sebagai maneken yang tak disadari oleh para manusia dan sulit untuk dijelaskan. Di antaranya, kita, bangsa maneken mampu berbahasa apa pun. (hal. 16).

Atau di sini melalui lisan Sophie ketika berpidato:
“Tak perlu banyak ucapan. Terima kasih kepada hadirin yang sudah hadir, semoga kalian diberkati. Inilah Medilon Shakespeare yang baru. Jika Anda cerdas memilih dan membeli busana, niscaya kehidupan Anda akan lebih bermakna!” tandas Sophie dalam pidatonya. (hal. 21).

“Jika Anda cerdas memilih dan membeli busana, niscaya kehidupan Anda akan lebih bermakna!” bagi saya ini ‘luar biasa’. Akan panjang lebar sekali jika diuraikan.

Ada satu hal yang membuat saya tersenyum simpul. Satu hal yang saya sendiri hanya bisa menebak saja. Yakni apakah dugaan saya dalam memaknakan sebaris kalimat di bawah ini sama dengan yang Aji pikirkan:

Gembira karena toko ini akhirnya akan beroperasi. Itu artinya pekerjaanku sebagai maneken dimulai. Aku tidak suka menjadi maneken pengangguran. Aku dibubuhi bubuk semangat untuk memulai karierku, dan lagi tirai yang menghalangi bak tembok ini dikuak, yang berarti aku bisa merasakan kesenangan untuk menyaksikan kehidupan di luar etalaseku lagi –apalagi ternyata tirainya akan dibuka 24 jam! Coba kau bayangkan, 24 jam! Betapa puasnya diriku menatap dunia luar. (hal. 19).

Pada barisan paragraf di atas itu, entah mengapa saya justru merasakan sebuah nuansa bahasa satire. Kegembiraan yang semu, kecemburuan dengan serba ideal dunia luar, dan ah ya di barisan terakhir ini satu lagi: kerja rodi. Bukankah 24 jam bekerja itu sama dengan kerja rodi?

Dan memang dalam novel ini, kita akan menemukan banyak sekali rajutan kata-kata dengan aneka majas yang menarik. Entah hiperbola, metafora, dan lain-lain.

Tetapi, jika saja boleh mengungkapkan. Ada satu kekurangan mendasar dari novel ini. Apa itu? adalah ilustrasi sampul di setiap bab. Sungguh tidak logis. Untuk apa menempatkan sebuah (ini lebih mirip dengan) boneka anak-anak yang duduk di kursi sedangkan ceritanya sendiri adalah sepasang maneken dewasa? Bisa jadi ini memang bukan keinginan Aji, tetapi keinginan dari 'pihak sana'.

Tetapi (entah sudah berapa kali di sini saya berkata, ‘tetapi) novel ini memang unik dari segi pengemasan. Saya menyukainya. Kalau boleh bisa diperkaya lagi unsur-unsur spiritualitasnya sehingga lebih membumi dan berasa.

-----------------------
Resensator:
HD Gumilang, pegiat Forum Lingkar Pena (FLP), pengurus FLP Jawa Barat 2013-2015
Notes:
Bagi teman-teman FLP yang ingin bukunya di resensi, silakan terlebih dahulu hubungi nomor HD Gumilang di WA/LINE/SMS 0896 5773 6916

1 komentar:

  1. wih, barokallah ya kang Aji.. kang HD lagi semangat meresensi ya? hm... keren

    BalasHapus

Berkomentarlah dengan penuh santun.