Anatomi
buku
Penulis:
SJ. Munkian
Penerbit:
Mahaka Publishing (Imprint Republika Penerbit)
ISBN:
978-6029-476-060
Tahun
terbit: 2015
Cetakan
ke: 1 (Satu)
Tebal
buku: 181 halaman
Ukuran
buku: 13.5 x 20.5 cm
Novel
Maneken ini dihiasi testimoni dari beberapa orang terkenal, seperti musisi Noe
Letto, novelis Sinta Yudisia dan Tasaro GK. Melihat deskripsi sampul belakang,
pembaca (selanjutnya diganti dengan frasa, ‘saya’) disuguhi sebuah rasa
penasaran yang akut:
Novel ini akan membuka mata hatimu
dengan menempatkanmu pada posisi benda mati yang tidak dihiraukan, meski sedang
berjuang mati-matian untuk mencapai mimpi-mimpi.
SJ.
Munkian adalah salah satu anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Sumedang sekaligus
alumnus Universitas Padjadjaran. Maneken adalah novel pertama yang diterbitkan
dari Aji (Begitu selanjutnya saya akan menyebut –sebagai ungkapan kakak kepada
seorang adik).
Novel
ini memang berkisah dengan sudut pandang aku benda mati berupa maneken –sebuah
boneka pajangan yang biasa ditampilkan di setiap toko yang dikenakan busana
tertentu. Maneken yang dianalogikan memiliki perasaan manusiawi sebagaimana
manusia pada umumnya.
Cerita
ini bermula pada suatu musim semi di sana (hal 12). Maneken mengambil latar
tempat di Inggris (hal. 15) di sebuah toko fashion bernama Medilon Shakespeare
milik Sophie Claudia Fleur. Sophie mengambil alih toko ini dari saudara tirinya
bernama Vince yang dinilainya tidak berbakat mengelola toko.
‘Medilon Shakespeare baru saja kuambil
alih dari Vince itu. ya ampun Tuan Sinclair, kalau boleh aku mencurahkan isi
hati, Vince itu kurang berbakat mengelola toko. Kadang kupikir apa mungkin
saudaraku –meski saudara tiri- bisa sepayah itu. jadi pada akhirnya, dia
memintaku untuk mengelolanya. Ah, itu memang sudah kuduga dan sudah
sepantasnya. (Hal.
55)
Ada
dua maneken utama di Medilon Shakespeare. Maneken perempuan bernama Claudia dan
maneken lelaki (yang baru datang kemudian) bernama Fereli yang dijuluki Sophie
sebagai tus es tres un valeur pour moi
yang artinya kau berharga sekali bagiku (hal. 17). Sebuah julukan yang memiliki
arti tersendiri bagi Sophie.
Dari
bab demi bab, cerita begitu mengalir sederhana dan mudah dimengerti.
Seakan-akan kita adalah benda mati itu sendiri. Benda mati yang ditiupkan ruh
sehingga memiliki nalar.
Dibalik
kisah romansanya ada banyak hal-hal lain yang juga menarik untuk ditafsirkan,
dimaknakan. Ini adalah petikan romansa yang saya sukai dari Maneken, yaitu
ketika Claudia meluahkan isi hatinya:
Selama ini rongga-rongga kepekaanku
terhalang awang-awang. Aku terlalu angkuh dan tidak melihat secara sederhana
pada diri sendiri dan sekitar. Ada sesosok maneken yang hadir. Ada di dalam
satu etalase yang sama. Di sebelahku. Ada di sisiku. Dia muncul tanpa kuduga,
dengan peran maneken yang tak kusangka. Dia pribadi yang baru kusadari: tidak
keras kepala, mau mendengarkan, bisa mengalah, punya kesabaran, dan tidak
menggebu-gebu sepertiku. Ia berwawasan dan sanggup bersikap dewasa, tidak sepertiku,
namun terkadang juga lucu dan menjengkelkan. Bahkan baru kusadari, dia tampan
juga. Tentu saja.
Kudapati diriku berdegup. Aku merasakan
tubuhku hangat sekaligus berdesir. Napasku jadi aneh. (hal. 52)
Bisa
dibayangkan, coba bila ada satu kesempatan mampir di toko baju, menatap para
maneken itu, lalu rasakan bahwa para maneken itu meluahkan perasaannya tentang
cinta, apa yang terjadi?
Tetapi
betul, ada banyak hal di luar romansa yang coba dibangun Aji yang juga menarik
untuk dikuak.
Dari
Aji, kita bisa belajar mendeskripsikan suatu tempat dengan sudut pandang dan
ruang yang sangat terbatas. Tetapi sekaligus ada sesuatu yang ironis juga (yang
membuat saya pun bertanya ‘dari mana?’)
‘Dari
mana?’ di sini tertaut pada narasi ini:
Saat kertas tersibak, terkuaklah
pemandangan di luar. Bukan panorama padang hijau yang terpampang –sebab kutahu
ini di kota- melainkan jalanan dan jejeran bangunan bisu yang bising oleh
aktivitas manusia. (hal.
8)
Iya,
dari mana Claudia tahu bahwa dirinya ada di kota? Siapa yang membisikinya? Sedangkan
Claudia selama ini tertutup tirai yang memisahkannya dari dunia dalam dan dunia luar.
Itu pula yang membuat saya bertanya tentang narasi Claudia tentang Capulatte
Café sedangkan dia masih tertutup tirai. Sebelum diluncurkan. Terkesan
menggugat? Ah, abaikan saja, tidak mengapa.
Tetapi,
Aji bagus sekali dalam meramu keterbatasan Claudia (sebagai sebuah boneka
maneken) mengilustrasikan pemandangan yang ada dihadapannya. Ya dihadapannya
saja, sebab dia tidak bisa berpaling sesuka hati.
Bacalah
bagian ini sebagai contoh:
Panorama di depan etalase utama; sebuah
lapak jalan yang tak begitu luas pun tak begitu sempit. Proporsional. Baik
warna, tekstur, maupun arsiran jalan tidak terlihat hitam, tegas, dan kaku
sebagaimana kepribadian jalan beraspal..
Ataupun
ini:
Hal lain yang dipamerkan etalase bagian
ini adalah deretan kursi dan meja kecil yang menyebar mengisi pandanganku di
seberang jalan.
Keduanya
ada di halaman 8 juga. Perhatikan frasa, ‘di depan’ dan ‘di seberang jalan’.
Itu kunci yang dipakai Aji demi melogiskan ilustrasi tempat yang coba
dinarasikan oleh Claudia. Bagus!
Tetapi
maneken tetaplah benda ‘yang memiliki’ rasa bosan. Sebagaimana manusia yang
bisa bosan melihat sesuatu secara berlama-lama, begitupun maneken.
Aku tidak bahagia dengan tirai menjuntai
yang tertutup karena menjadikanku tak bisa meneruskan kegiatan melihat panorama
di depan toko dan memaksaku untuk memperhatikan gambaran sau warna yang sama
lekat-lekat seharian penuh. (hal. 10)
Di
sini, Aji berupaya keras sekali –dan menurut saya berhasil- meletakkan
dasar-dasar filosofis yang melekat dalam diri maneken. Lihatlah, gagasan yang
dituangkannya lewat perantara Fereli:
Ada beberapa hal yang terjadi pada kita
sebagai maneken yang tak disadari oleh para manusia dan sulit untuk dijelaskan.
Di antaranya, kita, bangsa maneken mampu berbahasa apa pun. (hal. 16).
Atau
di sini melalui lisan Sophie ketika berpidato:
“Tak perlu banyak ucapan. Terima kasih
kepada hadirin yang sudah hadir, semoga kalian diberkati. Inilah Medilon
Shakespeare yang baru. Jika Anda cerdas memilih dan membeli busana, niscaya
kehidupan Anda akan lebih bermakna!” tandas Sophie dalam pidatonya. (hal. 21).
“Jika Anda cerdas memilih dan membeli
busana, niscaya kehidupan Anda akan lebih bermakna!” bagi saya ini
‘luar biasa’. Akan panjang lebar sekali jika diuraikan.
Ada
satu hal yang membuat saya tersenyum simpul. Satu hal yang saya sendiri hanya
bisa menebak saja. Yakni apakah dugaan saya dalam memaknakan sebaris kalimat di
bawah ini sama dengan yang Aji pikirkan:
Gembira karena toko ini akhirnya akan
beroperasi. Itu artinya pekerjaanku sebagai maneken dimulai. Aku tidak suka
menjadi maneken pengangguran. Aku dibubuhi bubuk semangat untuk memulai
karierku, dan lagi tirai yang menghalangi bak tembok ini dikuak, yang berarti
aku bisa merasakan kesenangan untuk menyaksikan kehidupan di luar etalaseku
lagi –apalagi ternyata tirainya akan dibuka 24 jam! Coba kau bayangkan, 24 jam!
Betapa puasnya diriku menatap dunia luar. (hal. 19).
Pada
barisan paragraf di atas itu, entah mengapa saya justru merasakan sebuah nuansa
bahasa satire. Kegembiraan yang semu, kecemburuan dengan serba ideal dunia
luar, dan ah ya di barisan terakhir ini satu lagi: kerja rodi. Bukankah 24 jam
bekerja itu sama dengan kerja rodi?
Dan
memang dalam novel ini, kita akan menemukan banyak sekali rajutan kata-kata
dengan aneka majas yang menarik. Entah hiperbola, metafora, dan lain-lain.
Tetapi,
jika saja boleh mengungkapkan. Ada satu kekurangan mendasar dari novel ini. Apa
itu? adalah ilustrasi sampul di setiap bab. Sungguh tidak logis. Untuk apa
menempatkan sebuah (ini lebih mirip dengan) boneka anak-anak yang duduk di
kursi sedangkan ceritanya sendiri adalah sepasang maneken dewasa? Bisa jadi ini
memang bukan keinginan Aji, tetapi keinginan dari 'pihak sana'.
Tetapi
(entah sudah berapa kali di sini saya berkata, ‘tetapi) novel ini memang unik
dari segi pengemasan. Saya menyukainya. Kalau boleh bisa diperkaya lagi
unsur-unsur spiritualitasnya sehingga lebih membumi dan berasa.
-----------------------
Resensator:
HD Gumilang, pegiat Forum Lingkar Pena (FLP), pengurus
FLP Jawa Barat 2013-2015
Notes:
Bagi teman-teman FLP yang ingin bukunya di resensi, silakan terlebih dahulu hubungi nomor HD Gumilang di WA/LINE/SMS 0896 5773 6916
wih, barokallah ya kang Aji.. kang HD lagi semangat meresensi ya? hm... keren
BalasHapus