12 September 2011
Akhirnya aku bisa selonjoran. Meluruskan persendian lututku. Setelah melewati kurang lebih empat jam waktu di perjalanan menggunakan bus. Jakarta – Karawang, rute yang awalnya aku kira bisa ditempuh hanya dalam waktu satu jam, seperti yang dituturkan teman sekelasku Ridwan. Aku hampir mendaratkan sepatu ketsku ke arahnya.
“Anjriiit
siah maneh, dodol!” aku bersungut-sungut padanya.
Ridwan
berhasil ngeles, lemparanku tidak tepat sasaran. Dia terkekeh melihat
penderitaanku.
Aku
yang terkenal malas bepergian jauh karena sering mabuk kendaraan ini berhasil
dibujuk oleh teman-teman sekelasku.
“Jakarta
– Karawang mah deket, boi! Paling cuman sejam doang,” Ridwan yang orang
Karawang asli meyakinkanku, “sejam doang mah ente moal mabok lah, dijamin ku
saya.” Dia terus membujuk.
Ari,
Dika, Nandang, dan Lian, yang merupakan teman sekelompok sekaligus satu genk di
kelas ikut mendorongku untuk ikut.
“Lagian
bakal ada tugas kelompok yang harus dikerjakan di sana, To. Masa iya elu kagak
ikut. Otak cemerlang di genk kita kan asalnya dari kepala panjul elu itu.
Bisa-bisa nilai mata kuliah Sejarah Indonesia Dua kelompok kita ancur kalau
tanpa elu. Iye kagak teman-teman?” Nandang bersekongkol. Aku makin tak punya pilihan
lain selain ikut.
Nyatanya,
hitungan satu jam Ridwan meleset. Satu jam perjalanan hanya sampai
ke Karawang Kota, itupun kalau lewat jalan tol. Sedangkan tujuan kami adalah
kampung Rawagede di desa Rawamerta. Melewati puluhan kilometer lagi setelah
pintu tol Karawang Barat menuju lokasi tujuan kami. Rawagede, bertempat di
pelosok daerah yang mempunyai julukan Kota Pangkal Perjuangan itu.
Matahari
meninggi, tepat di atas kepala. Karawang terasa panas, tapi tetap lebih sejuk
bila dibanding dengan panasnya Jakarta. Aku masih selonjoran di pendopo
yang letaknya tak jauh dari tempat penginapan kami yang hanya selemparan batu.
Rombongan sudah mendahuluiku menuju tempat istirahat.
**
Rawagede,
9 Desember 1947
Laki-laki
yang kerap dipanggil Kapten Lukas itu berdiri tegap. Memimpin rapat tertutup
dengan tentara BKR1 di salah satu rumah warga yang menjadi persembunyian mereka
di daerah Rawagede. Dia mahfum benar, perjuangan mempertahankan kemerdekaan
harus tetap dilakukan meski pimpinan mereka, Letkol Suroto Kunto belum kunjung
diketahui keberadaannya. Kabar yang merebak ia diculik tentara Belanda. Tak ada
yang tahu persis kejadiannya seperti apa.
“Selama
masih ada warna merah dalam darah kita, maka semangat kita tak akan pernah
gentar oleh siapapun!,”
Kapten
Lukas membakar semangat para Laskar. Saat itu mereka tengah berembug untuk
merencanakan penyerangan di daerah Cililitan, Jakarta.
“Siapkan
persenjataan kita, Letnan Syarif!” Kapten Lukas memerintah anak buahnya.
“Siap,
Kapten!” Letnan Syarif bergegas.
Tentara
BKR di bawah pimpinan Kapten Lukas Kustaryo memiliki banyak pasokan senjata dan
amunisi. Hal tersebut dikarenakan pada awal 1947, Kapten Lukas mengendarai
lokomotif sendiri dari arah Cipinang di jembatan Bojong, perbatasan antara kota
Bekasi – Karawang. Lokomotif itu ia tabrakan dengan kereta penuh senjata dan
amunisi milik Belanda dari arah berlawanan, kemudian merampas seluruh senjata
dan amunisi tersebut.
Pada
aksinya, Kapten Lukas kerap kali mengenakan seragam tentara Belanda yang
berhasil dibunuhnya. Dengan menggunakan pakaian tersebut ia dengan leluasa
menembaki tentara Belanda yang lainnya. Pernah suatu ketika Kapten Lukas hampir
ditembak oleh tentaranya sendiri, karena dengan pakaian tersebut ia dikira
tentara Belanda. Untungnya tembakan tersebut meleset sehingga tidak menciderai
Kapten Lukas.
“Saya
Begundal Karawang2, bung!” Seru Kapten Lukas. Dengan mendengar perkataan
tersebut, tentara yang menembakinya tersebut sadar bahwa itu adalah
pimpinannya.
Menjelang
petang, Kapten Lukas beserta para Laskar menyelinap meninggalkan desa Rawagede
menuju Cililitan dengan berjalan kaki. Selang tak berapa lama tentara Belanda
yang sudah mengendus keberadaan Kapten Lukas beserta tentara BKR tiba di lokasi
persembunyian. Warga bungkam. Tak ada seorangpun yang angkat bicara di mana
Kapten Lukas dan para Laskar bersembunyi, meski warga tahu bahwa mereka telah
meninggalkan desa tersebut.
Hingga
Kapten Lukas beserta pasukannya melakukan agresi di Cililitan, mereka tak
pernah membayangkan bahwa Rawagede, tempat yang mereka singgahi beserta
penduduk setempat yang sempat menolongnya bersembunyi tengah dibumihanguskan
oleh tentara Belanda. Tanpa ampun. Satu per satu para laki-laki penduduk sipil
meregang nyawa oleh peluru yang berterbangan membabi buta. Seketika bau anyir
tumpah di bumi Karawang. Tanah Rawagede memerah.
**
Sepuluh
menit selonjoran di pendopo aku merasa istirahatku cukup. Aku beranjak. Hendak
menyusul teman-teman yang telah terlebih dulu menuju penginapan. Hingga
langkahku tercegat seseorang yang memegang pundaku dari belakang.
“Anak
muda!”
Suaranya
yang berat terdengar tegas. Aku menoleh. Kakek tua yang masih terlihat gagah
mengembangkan senyum padaku. Ia menjabat tanganku erat, aku merasakan hawa
dingin merasuk ke kepalan tanganku kemudian menjalar ke seluruh tubuh. Hingga
panas siang yang tadi aku rasakan musnah seketika.
“Siapa
namamu anak muda?”
“Kunto,
Kek. Saya mahasiswa pendidikan Sejarah yang sedang melakukan kunjungan wisata
sejarah di tempat ini,” jawabku memperkenalkan diri. Kakek tua itu memandangi
wajahku lekat.
“Namamu
mengingatkan kakek pada teman seperjuangan kakek dulu, Nak...”
“Kunto.
Letnan Kolonel Suroto Kunto namanya.”
Aku
tak merasa asing mendengar nama itu. Letkol Suroto Kunto, nama yang berulang
tertulis pada buku sejarah yang aku baca. Ia adalah Komandan Resimen Jakarta
untuk daerah Cikampek pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada 1946 ia
diculik oleh Laskar yang pro Belanda di daerah Rawa Gabus. Semenjak peristiwa
penculikan itu ia tak lagi diketahui keberadaannya, mayatnya pun tak pernah
diketemukan. Yang ditemukan hanya mobil dinasnya yang dipenuhi dengan bercak
darah. Mungkin kakek yang ada di hadapanku ini adalah seorang peteran yang
berjuang bersama Letkol Suroto Kunto pada saat itu.
“Suroto
Kunto, salah satu pejuang terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini,” Kenang
kakek itu. Matanya menerawang jauh ke depan. Dihirup udara sedalam-dalamnya. Ia
terlihat tengah menyusup ke masa lalu melalui ingatannya.
“Kamu
tahu berapa banyak kepala keluarga di desa ini yang kepalanya tertembus peluru
tentara keji Belanda?”
Kakek
itu bertanya. Yang aku tahu jumlahnya ratusan, entah berapa tepatnya aku tak
yakin. Karena itu aku menggeleng.
“Empat
ratus tiga puluh satu orang meregang nyawa. Tertembus peluru,” suara kakek itu
bergetar. Kepalanya tertunduk. Terlihat rona penyesalan di wajahnya.
“Meninggalkan
para janda dan anak-anak yatim yang tak berdosa,” tunduknya semakin dalam.
“Tapi
kerja belum selesai3, anak muda!”
Suara
kakek itu kembali bersemangat. Aku takjub dengan semangatnya yang tiba-tiba
muncul lagi. Ia mengangkat tangannya di pelipis, membentuk sudut empat puluh
lima derajat. Aku membalasnya dengan melakukan hormat yang sama. Sebelum ia
bergegas aku sempat menanyakan namanya.
“Panggil
saja kakek dengan sebutan ‘Begundal Karawang’.” Katanya tegas. Pertemuan yang
singkat, ia pun berlalu. Meninggalkan aku yang disergap rasa penasaran. Aku
merasa pernah mendengar julukan itu, tapi entah di mana. Ingatanku kadang
memalukan sebagai mahasiswa Pendidikan Sejarah.
Seketika
aku sadar. Sebelum pergi ia sempat memberikanku selembar kertas. Kertas yang
isinya aku bacakan keesokan harinya di depan tugu yang dibuat untuk mengenang
tragedi Rawagede.
Hampir
seluruh yang hadir di tempat itu takjub melihat penampilanku yang penuh
penghayatan membacakannya. Aku sendiri heran, bahkan aku tak pernah merasakan
sepede ini membacakan puisi dihadapan orang banyak.
Andai
malamnya aku tidak mengulang bacaanku kembali tentang sejarah kemerdekaan
pejuang di Karawang, barangkali aku tak mampu mengingat sebuah nama. Nama yang
membuatku sedikit tak percaya, akan kakek yang kutemui tadi siang itu
benar-benar si Begundal Karawang. Sebab menurut catatan sejarah, Begundal
Karawang alias Kapten Lukas Sutaryo, wafat pada 8 Januari 1997, dua tahun
setelah monumen pembantaian Rawagede, tempat aku berdiri ini pertama kali
diresmikan. Atau pertemuan dengan kakek itu hanya halusinasiku saja. Efek dari
mabuk perjalananku kemarin kah? Lalu selembar kertas yang bertuliskan puisi
ini?
Karawang-Bekasi
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
Chairil Anwar (1948)
**
Keesosokan hari,
HEADLINE NEWS
Jum’at, 9 Desember 2011 mendatang Pemerintah Belanda diwakili Duta Besar untuk Indonesia, Tjeerd de Zwaan, akan menyampaikan permintaan maaf secara langsung kepada para keluarga korban kasus Rawagede di Desa Balongsari Karawang Jawa Barat. Pengacara janda korban Rawagede, Lisbeth Zegveld, mengatakan pemerintah Belanda memberikan kompensasi sebesar 20.000 euro atau sekitar Rp243 juta per orang.
Pemberian kompensasi dan permintaan maaf oleh pemerintah Belanda dilakukan berdasarkan putusan pengadilan sipil di Den Haag Belanda kemarin, 14 September 2011, yang mengabulkan gugatan janda korban pembantaian Rawagede dengan tergugat Pemerintah Kerajaan Belanda. (BBC/Indonesia).
***
(1).BKR (Badan Kemanan Rakyat), adalah persatuan dari Laskar pejuang yang dikenal di Rawagede sebelum kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, antara lain Laskar Macan Citarum, Barisan Banteng, MPHS, SP88, dan Laskar Hizbulloh. Pada 19 Agustus 1945, seluruh laskar itu bergabung menjadi BKR (Badan Keamanan Rakyat).
(2).Begundal Karawang, julukan yang diberiakan tentara Belanda untuk Kapten Lukas Kustaryo.
(3).Tapi kerja belum selesai, petikan puisi Chairil Anwar, Karawang-Bekasi
*Revisi: dalam buku antalogi Ilusi Malahayu,
ada kekeliruan menulis nama, Lukas
Kustaryo menjadi Lukas Sutaryo.
Lina Astuti, pegiat Forum Lingkar Pena (FLP), ketua
cabang FLP Karawang 2013-2015, cerpen Begundal Karawang ini dimuat dalam
antologi Ilusi Malahayu (2015)
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan penuh santun.