Breaking News
Loading...
12/05/2015

Info Post




12 September 2011
Akhirnya aku bisa selonjoran. Meluruskan persendian lututku. Setelah melewati kurang lebih empat jam waktu di perjalanan menggunakan bus. Jakarta – Karawang, rute yang awalnya aku kira bisa ditempuh hanya dalam waktu satu jam, seperti yang dituturkan teman sekelasku Ridwan. Aku hampir mendaratkan sepatu ketsku ke arahnya.

 “Anjriiit siah maneh, dodol!” aku bersungut-sungut padanya.

Ridwan berhasil ngeles, lemparanku tidak tepat sasaran. Dia terkekeh melihat penderitaanku.

Aku yang terkenal malas bepergian jauh karena sering mabuk kendaraan ini berhasil dibujuk oleh teman-teman sekelasku.

“Jakarta – Karawang mah deket, boi! Paling cuman sejam doang,” Ridwan yang orang Karawang asli meyakinkanku, “sejam doang mah ente moal mabok lah, dijamin ku saya.” Dia terus membujuk.

Ari, Dika, Nandang, dan Lian, yang merupakan teman sekelompok sekaligus satu genk di kelas ikut mendorongku untuk ikut.

“Lagian bakal ada tugas kelompok yang harus dikerjakan di sana, To. Masa iya elu kagak ikut. Otak cemerlang di genk kita kan asalnya dari kepala panjul elu itu. Bisa-bisa nilai mata kuliah Sejarah Indonesia Dua kelompok kita ancur kalau tanpa elu. Iye kagak teman-teman?” Nandang bersekongkol. Aku makin tak punya pilihan lain selain ikut.

Nyatanya, hitungan satu jam Ridwan meleset.  Satu jam perjalanan hanya  sampai ke Karawang Kota, itupun kalau lewat jalan tol. Sedangkan tujuan kami adalah kampung Rawagede di desa Rawamerta. Melewati puluhan kilometer lagi setelah pintu tol Karawang Barat menuju lokasi tujuan kami. Rawagede, bertempat di pelosok daerah yang mempunyai julukan Kota Pangkal Perjuangan itu.

Matahari meninggi, tepat di atas kepala. Karawang terasa panas, tapi tetap lebih sejuk bila dibanding dengan panasnya  Jakarta. Aku masih selonjoran di pendopo yang letaknya tak jauh dari tempat penginapan kami yang hanya selemparan batu. Rombongan sudah mendahuluiku menuju tempat istirahat.
**

Rawagede, 9 Desember 1947
Laki-laki yang kerap dipanggil Kapten Lukas itu berdiri tegap. Memimpin rapat tertutup dengan tentara BKR1 di salah satu rumah warga yang menjadi persembunyian mereka di daerah Rawagede. Dia mahfum benar, perjuangan mempertahankan kemerdekaan harus tetap dilakukan meski pimpinan mereka, Letkol Suroto Kunto belum kunjung diketahui keberadaannya. Kabar yang merebak ia diculik tentara Belanda. Tak ada yang tahu persis kejadiannya seperti apa.

“Selama masih ada warna merah dalam darah kita, maka semangat kita tak akan pernah gentar oleh siapapun!,”

Kapten Lukas membakar semangat para Laskar. Saat itu mereka tengah berembug untuk merencanakan penyerangan di daerah Cililitan, Jakarta.

“Siapkan persenjataan kita, Letnan Syarif!” Kapten Lukas memerintah anak buahnya.

“Siap, Kapten!” Letnan Syarif bergegas.

Tentara BKR di bawah pimpinan Kapten Lukas Kustaryo memiliki banyak pasokan senjata dan amunisi. Hal tersebut dikarenakan pada awal 1947, Kapten Lukas mengendarai lokomotif sendiri dari arah Cipinang di jembatan Bojong, perbatasan antara kota Bekasi – Karawang. Lokomotif itu ia tabrakan dengan kereta penuh senjata dan amunisi milik Belanda dari arah berlawanan, kemudian merampas seluruh senjata dan amunisi tersebut.

Pada aksinya, Kapten Lukas kerap kali mengenakan seragam tentara Belanda yang berhasil dibunuhnya. Dengan menggunakan pakaian tersebut ia dengan leluasa menembaki tentara Belanda yang lainnya. Pernah suatu ketika Kapten Lukas hampir ditembak oleh tentaranya sendiri, karena dengan pakaian tersebut ia dikira tentara Belanda. Untungnya tembakan tersebut meleset sehingga tidak menciderai Kapten Lukas.

“Saya Begundal Karawang2, bung!” Seru Kapten Lukas. Dengan mendengar perkataan tersebut, tentara yang menembakinya tersebut sadar bahwa itu adalah pimpinannya.

Menjelang petang, Kapten Lukas beserta para Laskar menyelinap meninggalkan desa Rawagede menuju Cililitan dengan berjalan kaki. Selang tak berapa lama tentara Belanda yang sudah mengendus keberadaan Kapten Lukas beserta tentara BKR tiba di lokasi persembunyian. Warga bungkam. Tak ada seorangpun yang angkat bicara di mana Kapten Lukas dan para Laskar bersembunyi, meski warga tahu bahwa mereka telah meninggalkan desa tersebut.

Hingga Kapten Lukas beserta pasukannya melakukan agresi di Cililitan, mereka tak pernah membayangkan bahwa Rawagede, tempat yang mereka singgahi beserta penduduk setempat yang sempat menolongnya bersembunyi tengah dibumihanguskan oleh tentara Belanda. Tanpa ampun. Satu per satu para laki-laki penduduk sipil meregang nyawa oleh peluru yang berterbangan membabi buta. Seketika bau anyir tumpah di bumi Karawang. Tanah Rawagede memerah.
**

Sepuluh menit selonjoran di pendopo aku merasa istirahatku cukup. Aku beranjak. Hendak menyusul teman-teman yang telah terlebih dulu menuju penginapan. Hingga langkahku tercegat seseorang yang memegang pundaku dari belakang.

“Anak muda!”

Suaranya yang berat terdengar tegas. Aku menoleh. Kakek tua yang masih terlihat gagah mengembangkan senyum padaku. Ia menjabat tanganku erat, aku merasakan hawa dingin merasuk ke kepalan tanganku kemudian menjalar ke seluruh tubuh. Hingga panas siang yang tadi aku rasakan musnah seketika.

“Siapa namamu anak muda?”

“Kunto, Kek. Saya mahasiswa pendidikan Sejarah yang sedang melakukan kunjungan wisata sejarah di tempat ini,” jawabku memperkenalkan diri. Kakek tua itu memandangi wajahku lekat.

“Namamu mengingatkan kakek pada teman seperjuangan kakek dulu, Nak...”

“Kunto. Letnan Kolonel Suroto Kunto namanya.”

Aku tak merasa asing mendengar nama itu. Letkol Suroto Kunto, nama yang berulang tertulis pada buku sejarah yang aku baca. Ia adalah Komandan Resimen Jakarta untuk daerah Cikampek pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada 1946 ia diculik oleh Laskar yang pro Belanda di daerah Rawa Gabus. Semenjak peristiwa penculikan itu ia tak lagi diketahui keberadaannya, mayatnya pun tak pernah diketemukan. Yang ditemukan hanya mobil dinasnya yang dipenuhi dengan bercak darah. Mungkin kakek yang ada di hadapanku ini adalah seorang peteran yang berjuang bersama Letkol Suroto Kunto pada saat itu.

“Suroto Kunto, salah satu pejuang terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini,” Kenang kakek itu. Matanya menerawang jauh ke depan. Dihirup udara sedalam-dalamnya. Ia terlihat tengah menyusup ke masa lalu melalui ingatannya.

“Kamu tahu berapa banyak kepala keluarga di desa ini yang kepalanya tertembus peluru tentara keji Belanda?”

Kakek itu bertanya. Yang aku tahu jumlahnya ratusan, entah berapa tepatnya aku tak yakin. Karena itu aku menggeleng.

“Empat ratus tiga puluh satu orang meregang nyawa. Tertembus peluru,” suara kakek itu bergetar. Kepalanya tertunduk. Terlihat rona penyesalan di wajahnya.

“Meninggalkan para janda dan anak-anak yatim yang tak berdosa,” tunduknya semakin dalam.

“Tapi kerja belum selesai3, anak muda!”

Suara kakek itu kembali bersemangat. Aku takjub dengan semangatnya yang tiba-tiba muncul lagi. Ia mengangkat tangannya di pelipis, membentuk sudut empat puluh lima derajat. Aku membalasnya dengan melakukan hormat yang sama. Sebelum ia bergegas aku sempat menanyakan namanya.

“Panggil saja kakek dengan sebutan ‘Begundal Karawang’.” Katanya tegas. Pertemuan yang singkat, ia pun berlalu. Meninggalkan aku yang disergap rasa penasaran. Aku merasa pernah mendengar julukan itu, tapi entah di mana. Ingatanku kadang memalukan sebagai mahasiswa Pendidikan Sejarah.

Seketika aku sadar. Sebelum pergi ia sempat memberikanku selembar kertas. Kertas yang isinya aku bacakan keesokan harinya di depan tugu yang dibuat untuk mengenang tragedi Rawagede.

Hampir seluruh yang hadir di tempat itu takjub melihat penampilanku yang penuh penghayatan membacakannya. Aku sendiri heran, bahkan aku tak pernah merasakan sepede ini membacakan puisi dihadapan orang banyak.

Andai malamnya aku tidak mengulang bacaanku kembali tentang sejarah kemerdekaan pejuang di Karawang, barangkali aku tak mampu mengingat sebuah nama. Nama yang membuatku sedikit tak percaya, akan kakek yang kutemui tadi siang itu benar-benar si Begundal Karawang. Sebab menurut catatan sejarah, Begundal Karawang alias Kapten Lukas Sutaryo, wafat pada 8 Januari 1997, dua tahun setelah monumen pembantaian Rawagede, tempat aku berdiri ini pertama kali diresmikan. Atau pertemuan dengan kakek itu hanya halusinasiku saja. Efek dari mabuk perjalananku kemarin kah? Lalu selembar kertas yang bertuliskan puisi ini?

Karawang-Bekasi
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
Chairil Anwar (1948)
**

Keesosokan hari,
HEADLINE NEWS
Jum’at, 9 Desember 2011 mendatang Pemerintah Belanda diwakili Duta Besar untuk Indonesia, Tjeerd de Zwaan, akan menyampaikan permintaan maaf secara langsung kepada para keluarga korban kasus Rawagede di Desa Balongsari Karawang Jawa Barat. Pengacara janda korban Rawagede, Lisbeth Zegveld, mengatakan pemerintah Belanda memberikan kompensasi sebesar 20.000 euro atau sekitar Rp243 juta per orang.

Pemberian kompensasi dan permintaan maaf oleh pemerintah Belanda dilakukan berdasarkan putusan pengadilan sipil di Den Haag Belanda kemarin, 14 September 2011, yang mengabulkan gugatan janda korban pembantaian Rawagede dengan tergugat Pemerintah Kerajaan Belanda. (BBC/Indonesia).
***


(1).BKR (Badan Kemanan Rakyat), adalah persatuan dari Laskar pejuang yang dikenal di Rawagede sebelum kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, antara lain Laskar Macan Citarum, Barisan Banteng, MPHS, SP88, dan Laskar Hizbulloh. Pada 19 Agustus 1945, seluruh laskar itu bergabung menjadi BKR (Badan Keamanan Rakyat).
(2).Begundal Karawang, julukan yang diberiakan tentara Belanda untuk Kapten Lukas Kustaryo.
 (3).Tapi kerja belum selesai, petikan puisi Chairil Anwar, Karawang-Bekasi

*Revisi: dalam buku antalogi Ilusi Malahayu, ada kekeliruan menulis nama,  Lukas Kustaryo menjadi Lukas Sutaryo.


Lina Astuti, pegiat Forum Lingkar Pena (FLP), ketua cabang FLP Karawang 2013-2015, cerpen Begundal Karawang ini dimuat dalam antologi Ilusi Malahayu (2015)

0 komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan penuh santun.